Jumat, 05 Maret 2010

REVIEW

REVIEW
SELASA, 2 MARET 2010
- RELASI ANTARA ADMINISTRASI NEGARA, POLITIK, DAN KEBIJAKAN PUBLIK -


Berdasarkan teori yang dikemukakan Bromley dalam Tachjan (2006ii:17), kebijakan publik memiliki tiga tingkatan yang berbeda berdasarkan hierarki kebijakan, yaitu: policy level, organizational level, operational level.
Dalam suatu negara demokratis policy level diperankan oleh lembaga yudikatif dan legislatif, sedang organizational level diperankan oleh lembaga eksekutif. Selanjutnya operational level dilaksanakan oleh satuan pelaksana seperti kedinasan, kelembagaan atau kementerian. Pada masing-masing level, kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarkinya. Sementara pattern interaction adalah pola interaksi antara pelaksana kebijakan paling bawah (street level bureaucrat) dengan kelompok sasaran (target group) kebijakan yang menunjukkan pola pelaksanaan kebijakan yang menentukan dampak (outcome) dari kebijakan tersebut. Hasil suatu kebijakan dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan terjadi sebuah perbaikkan atau peningkatan kebijakan.


Hubungan Administrasi Negara dengan Politik dan Kebijakan Publik
Pengaruh politik terhadap administrasi negara selalu besar, tidak peduli kapan pun masanya. Hal ini disebabkan oleh adanya gejala di semua negara yang menunjukkan bahwa setiap pemerintah disusun di atas tiga cabang pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Hubungan terus menerus administrasi dengan politik mencerminkan keberlanjutan hubungan antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif, sebagaimana dicerminkan dalam dua tahap pemerintahan, yakni tahap politik dan tahap administrasi. Jika tahap pertama merupakan tahap perumusan kebijakan, maka tahap kedua merupakan tahap implementasi kebijakan yang telah ditetapkan dalam tahap pertama.
Hubungan antara administrasi negara dan ilmu politik telah berjalan lama, karena secara praktis tidak ada batas yang tegas antara politik dan administrasi. Orientasi politik dalam studi administrasi negara meletakkan administrasi negara sebagai satu elemen dalam proses pemerintahan. Administrasi negara dipandang sebagai satu aspek dari proses politik dan sebagai bagian dari sistem pemerintahan. Munculnya dikhotomi politik-administrasi sebenarnya merupakan gerakan koreksi terhadap buruknya karakter pemerintah. Dalam perkembangannya, orientasi politik dalam studi administrasi negara di kombinasikan dengan orientasi manajerial yang dikenal dengan orientasi politik-manajerial, dan orientasi sosio-psikologis yang dikenal dengan orientasi politik-sosio-psikologis.
Kebijakan Publik (Inggris:Public Policy) adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.
Setiap sistem politik pada dasarnya memproduksi kebijakan publik. Dan sistem politik itu bisa berupa negara, propinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan RT dan RW. "Institusi" seperti ASEN, EU, PBB dan WTO adalah sistem politik juga, yang dapat disebut supra-negara.
Kebijakan publik tidak selalu dilakukan oleh birokrasi (saja), melainkan dapat pula dilaksanakan oleh perusahaan swasta, LSM ataupun masyarakat langsung. Misalnya, suatu sistem politik dapat memutuskan untuk memberantas nyamuk. Sistem politik itu dapat memerintah --tentu saja disertai kompensasi-- sebuah perusahaan swasta untuk melakukan penyemprotan nyamuk.
Dalam masyarakat autoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik. Kemampuan para pemimpin politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar