Jumat, 26 Februari 2010

CURHAT

Aku gk tau siapa dan apa yg harus dipersalahkan. Semuanya mengalir begitu saja. 2 hati, 2 cinta, 2 rasa ...

Dirinya hadir secara tiba-tiba dalam kehidupanku, membiusku perlahan pada merdu suaranya, memenjarakanku pada gelak rasaku. Meski sesingkat waktu ku mengenalnya. Dan tak banyak yang bisa ku ingat tentangnya. Kecuali ... suaranya, hidung mancungnya, dan ... namanya. Ya Namanya! Namanya ....................
NOVIANTO ARIEF WIBOWO ... Dan saya rasa, seluruh dunia mengenalnya.

Tuhan, persalahkan aku atas semua ini.
Persalahkan aku atas rasaku yang terbagi dari cinta yg telah lebih dulu kuperjuangkan 'tuk ku pertahankan.
Persalahkan aku, Tuhan!

Tunjukkan aku siapa dia, Tuhan ...
dan beriku arah yg semestinya kemana ku harus berpijak ...
Agar tak lagi ku mati merana dalam CINTA SEMU ini ...

Amiin ...

Kamis, 25 Februari 2010

REVIEW - ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

1. PENGERTIAN DAN BENTUK ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Analisis kebijakan publik merupakan tindak lanjut dari serangkaian kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah. Analisis ini dilakukan untuk memberikan gambaran secara rinci mengenai dampak sukses tidaknya suatu kebijakan yang telah dibuat untuk diimplikasikan di lapangan atau masyarakat.
Secara umum, dalam pembuatan/ perumusan kebijakan publik terdapat empat dimensi yang saling bersinggungan langsung, yakni antara lain dimensi ekonomi, dimensi politik, dimensi sosial-budaya, dan dimensi ideologi. Namun, perumusan kebijakan publik ini acapkali dijadikan sebagai tameng politik untuk mempertahankan kekuasaan sang pemimpin sehingga kurang memperhatikan ketiga dimensi lainnya.
William N. Dunn (2000) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Weimer and Vining, (1998:1): The product of policy analysis is advice. Specifically, it is advice that inform some public policy decision. Jadi analisis kebijakan publik lebih merupakan nasehat atau bahan pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang masalah yang dihadapi, tugas yang mesti dilakukan oleh organisasi publik berkaitan dengan masalah tersebut, dan juga berbagai alternatif kebijakan yang mungkin bisa diambil dengan berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan.
Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan.
Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2000: 117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu:
1.Analisis kebijakan prospektif
Analisis Kebijakan Prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan.
2.Analisis kebijakan retrospektif
Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analis berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini yakni analis yang berorientasi pada disiplin, analis yang berorientasi pada masalah dan analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe analisis retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan.
3.Analisis kebijakan yang terintegrasi
Analisis Kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.

2. META ANALISIS
Meta Analisis merupakan metode atau pendekatan yang digunakan dalam studi kebijakan publik, yang mempunyai tujuan untuk memahami dan mengkritisi gagasan, ide, bahasa, asal usul, asumsi, model, dan signifikansi yang digunakan dalam melakukan sebuah analisis kebijakan publik. Dalam melakukan meta analisis kebijakan publik diawali dengan memahami makna dan gagasan tentang publik. Istilah publik merupakan segala aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama.
Oleh sebab itu, sering muncul istilah kepentingan publik, barang publik, sektor publik, akuntabilitas publik, utang publik dan lain-lain. Istilah publik tersebut menjadi berbeda dengan istilah privat atau murni milik pribadi, namun batasan antara ruang publik dengan ruang privat sering menjadi perdebatan atau konflik yang berkepanjangan.
Upaya untuk menjelaskan perbedaan antara ruang publik dengan ruang privat, telah dilakukan oleh para ahli bidang Ekonomi Politik dengan menggunakan gagasan pasar (market) (Habermas, 1989). Kekuatan pasar dapat dianggap sebagai cara untuk memaksimalkan kepentingan individual dan sekaligus meningkatkan ketersediaan barang publik dan kesejahteraan publik. Peran negara adalah untuk menciptakan kondisi yang dapat menjamin kepentingan publik dan akan lebih baik jika tidak terlalu banyak campur tangan dalam pasar, atau dengan istilah memberikan kebebasan ekonomi. Kepentingan publik dapat terlayani dengan baik jika negara memfasilitasi kepentingan kebebasan ekonomi dan pasar, dan bukan membatasi atau mengaturnya. Intervensi publik oleh negara ditujukan sebagai upaya menjamin penegakkan hukum, hak asasi, dan ketertiban. Dengan demikian, tujuan pengambilan kebijakan publik (Laswell, 1971) yang dilakukan oleh negara adalah mengelola ruang publik beserta masalah-masalahnya dan menangani aspek-aspek kehidupan sosial dan ekonomi yang tidak mampu diselesaikan oleh kekuatan atau mekanisme pasar.
Upaya untuk mengelola ruang publik oleh negara tersebut di atas, memunculkan konsep administrasi publik yang merupakan sarana untuk mengamankan kepentingan publik. Upaya tersebut dilakukan dengan memanfaatkan pegawai negeri sipil yang mempunyai tugas melaksanakan semua perintah negara (pemerintah). Oleh karena itu, birokrasi publik menjadi sangat berbeda dengan birokrasi yang ada disektor privat atau swasta (misalnya dunia bisnis, perdagangan atau industri), karena birokrasi publik lebih mengarah kepada upaya untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan nasional, dan bukan untuk mengamankan kepentingan privat atau swasta (Weber, 1991).
Melakukan analisis tentang konsep publik tentu saja tidak dapat dilepaskan dengan konsep kebijakan. Kebijakan (Wilson, 1887) dapat diartikan sebagai seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik dan mempunyai pengaruh yang sangat luas. Dengan demikian, yang dimaksud dengan ilmu kebijakan adalah ilmu yang menjelaskan proses pembuatan kebijakan atau menyediakan data yang dibutuhkan dalam membuat keputusan yang rasional terkait dengan persoalan tertentu. Ilmu kebijakan (Lasswell, 1951) mencakup tiga hal, yaitu metode penelitian proses kebijakan, hasil dari studi kebijakan, dan hasil temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan intelegensi.
Pandangan ilmu kebijakan (Lasswell, 1970) mengandung ciri khas, yakni
a) Berorientasi persoalan;
b) Harus multidisipliner dan melibatkan sintesis dari berbagai ide dan teknik penelitian (multimetode); dan
c) Harus menciptakan kreativitas dalam menganalisis persoalan. Selanjutnya Lasswell menyatakan bahwa ilmu kebijakan menggunakan dua pendekatan yang dapat didefinisikan dalam term pengetahuan dalam proses politik dan pengetahuan tentang proses politik, artinya
a.) Analisis kebijakan berkaitan dengan pengetahuan dalam, dan untuk, proses politik, dan;
b) Analisis proses kebijakan berkaitan dengan pengetahuan tentang formasi dan implementasi kebijakan publik.
Menurut Herbert Simon, studi kebijakan mempunyai jangkauan yang lebih luas dan bersifat multidisipliner yang mempunyai dampak terhadap ilmu sosial yang lainnya. Perhatian terhadap proses pengambilan keputusan dipusatkan pada ide rasionalitas, yaitu sebagai sesuatu yang ”terkekang” namun mampu membuat perbaikan.
Menurut pendapat Charles Lindblom (1993) bahwa proses pengambilan keputusan dipusatkan pada ide rasionalitas dengan menggunakan pendekatan ”incrementalism” atau bertingkat naik, artinya bahwa proses pengambilan keputusan merupakan langkah-langkah yang tertata dan penuh pertimbangan, dan pembuatan kebijakan adalah sebuah proses yang interaktif dan kompleks, tanpa awal dan tanpa akhir. Oleh sebab itu, dalam mempelajari proses kebijakan harus mempertimbangkan berbagai hal, antara lain terkait pemilihan umum, birokrasi, partai, politisi, kelompok kepentingan, dunia bisnis, kesenjangan, dan keterbatasan kemampuan untuk melakukan analisis. Sedangkan menurut pendapat David Easton (1953) bahwa proses kebijakan dapat dilihat dari segi input yang diterima, dalam bentuk aliran dari lingkungan, dimediasi melalui saluran input (partai, media, kelompok kepentingan), permintaan di dalam sistem politik, dan konversinya menjadi output dan hasil kebijakan. David Easton berusaha membuat konsep hubungan antara pembuat kebijakan, output kebijakan dan lingkungannya yang lebih luas .
Komunikasi dan penggunaan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan adalah sentral dalam praktik dan teori analisis kebijakan. Metodologi analisis kebijakan adalah sistem standar, aturan, dan prosedur untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Metodologi analisis kebijakan mempunyai beberapa karakteristik utama : perhatian yang tinggi pada perumusan dan pemecahan masalah, komitmen kepada pengkajian baik yang sifatnya deskriptif maupun kritik nilai, dan keinginan untuk meningkatkan efisiensi pilihan di antara sejumlah alternatif lain.
Lima tipe informasi yang dihasilkan oleh analisis kebijakan adalah: masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Kelima tipe informasi tersebut diperoleh melalui lima prosedur analisis kebijakan: perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan, dan evaluasi.
Analisis kebijakan, dalam pengertiannya yang luas, melibatkan hasil pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Secara historis, tujuan analisis kebijakan adalah menyediakan informasi bagi pembuat kebijakan untuk dijadikan bahan pertimbangan yang nalar guna menemukan pemecahan masalah kebijakan.
Analisis kebijakan mengambil dari berbagai disiplin yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif, dan normatif. Analisis kebijakan diharapkan untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi tentang nilai-nilai, fakta-fakta, dan tindakan-tindakan. Ketiga macam tipe informasi itu dihubungka dengan tiga pendekatan analisis kebijakan, yaitu empiris, valuatif, dan normatif.
Rekomendasi merupakan proses rasional di mana para analis memproduksi informasi dan argumen-argumen yang beralasan tentang solusi-solusi yang potensial dari masalah publik. Prosedur-prosedur yang paling umum untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan (deskripsi, prediksi, evaluasi, preskripsi) dapat dibandingkan dan dipertimbangkan menurut waktu kapan prosedur-orosedur tersebut digunakan (sebelum vs sesudah tindakan) dan jenis pertanyaan yang sesuai (empirik, valuatif, normatif).
Setiap argumen kebijakan memunyai enam elemen: informasi yang relevan dengan kebijakan, klaim kebijakan, pembenaran, dukungan, bantahan, dan penguat. Analisis kebijakan umunya bersifat kognitif, sedangkan pembuat kebijakan bersifat politis. Sistem kebijakan bersifat dialektis, merupaka kreasi subjektif dari pelaku kebijakan, merupakan realitas objektif, dan para pelaku kebijakan merupakan produk dari sistem kebijakan.
Analisis kebijakan terdiri dari tiga elemen: metode-metode kebijakan, komponen informasi kebijakan, dan transformasi informasi kebijakan. Terdapat tiga bentuk utama analisis kebijakan: retrospektif, prospektif, dan terintegrasi.
Ada dua pendekatan yang berlawanan untuk mendefinisikan pengetahuan : esensialis dan plausibilis. Pengetahuan yang siap pakai atau yang relevan dengan kebijakan mengandung pernyataan kebenaran yang secara plausibel optimal yang dibuat dengan keterlibatan di dalam proses komunikasi, argumentasi, dan debat kebijakan. Kriteria untuk mengkaji plausibilitas argumen kebijakan meliputi kelengkapan, konsonansi, kohesivitas, regularitas fungsional, dan kesederhanaan, kehematan dan ketepatan fungsional. Informasi kebijakan yang sama dapat mengarah ke pernyataan kebijakan yang sama sekali berbeda, tergantung pada asumsi yang terkandung di dalam suatu argumen kebijakan.
Ada delapan cara argumen kebijakan yang dapat dipertimbangkan: otoritatif, statistikal, klasifikasional, intuitif, analisentrik, eksplanatori, pragmatis, dan kritik nilai.
Perumusan masalah merupakan aspek paling krusial tetapi paling tidak dipahami dari analisi kebijakan. Proses perumusan masalah-masalah kebijakn kelihatannya tidak mengikuti aturan yang jelas sementara masalah itu sendiri seringkali sangat kompleks sehingga tampak sulit dibuat sistematis. Para analis kebijakan lebih sering gagal karena mereka memecahkan masalah yang salah dibanding karena mereka menemukan solusi yang salah terhadap masalah yang benar.
Karakteristik utama masalah-masalah kebijakan adalah saling tergantung, subjektif, artifisial, dan dinamis. Masalah-masalah kebijakan jarang dipecah ke dalam bagian-bagian yang independen, berbeda, dan saling eksklusif; masalh-masalah sesungguhnya merupakan sistem masalah dengan sifat-sifat yang teologis (purposif) sedemikian rupa sehingga dari keseluruhan tidak sama dengan jumlah kuantitatif bagian-bagiannya. Isu-isu kebijakan yang nampak sederhana seringkali sama kompleksnya seperti sistem masalah dari mana mereka berasal. Isu-isu kebijakan merupakan hasil dari perselisihan sebelumnya tentang hakikat masalah-masalah kebijakan, yang didasarkan pada interpretasi yang selektif terhadap kondisi masalah.
Kompleksitas dari struktur masalah bervariasi sesuai dengan karakteristik dan hubungan di antara lima elemen: pembuat kebijakan, alternatif, utilitas (nilai), hasil, probabilitas hasil. Banyak dari masalah kebijakan yang sangat penting adalah yang rumit karena masalah-masalah tersebut merupakan suatu sistem masalah yang benar-benar kompleks yang mengandung konflik yang tinggi di antara para pelaku kebijakann yang saling bersaing.
Masalah yang rumit mengharuskan analisis mengambil bagian aktif dalam mendefinisikan sifat masalah itu sendiri, analisis kebijakan diarahkan secara seimbang kepada perumusan masalah dan pemecahan masalah. Perumusan masalah adalah suatu proses dengan empat tahap yang saling tergantung: penghayatan masalah, pencarian masalah, pendefinisian masalah, dan spesifikasi masalah. Tiap tahap-tahap itu menghasilkan informasi mengenai situasi masalah, meta masalah, masalah substantif, dan masalah formal.
Model-model kebijakan adalah penyederhanaan representasi aspek-aspek kondisi masalah yang terseleksi. Model-model kebijakan berguna dan penting; penggunaannya bukan masalah pilihan, semenjak setiap orang menggunakan beberapa model untuk menyederhanakan kondisi masalah. Model kebijakan tidak dapat membedakan antara pertanyaan yang penting dan tidak penting; juga model tidak dapat menjelaskan, memprediksi, mengevaluasi atau membuat rekomendasi, karena penilaian berada di luar model dan bukan bagiannya. Dimensi-dimensi yang paling penting dari model-model kebijakan adalah tujuan (deskriptif lawan normatif), bentuk ekspresi (verbal, simbolis, prosedural), dan asumsi-asumsi metodologis (pengganti lawan perspektif). Metode-metode untuk merumuskan masalah-masalah kebijakan meliputi analisis batasan, analisis klasifikasional, analisis hierarki, sinektika, brainstorming, analisis perspektif berganda, analisis asumsional dan pemetaan argumentasi.
Peramalan dapat mengambil tiga bentuk utama: proyeksi, prediksi, dan konjektur. Masing-masing mempunyai bentuk yang berbeda: ekstrapolasi kecenderungan, teori, dan pandangan pribadi. Proyeksi dibenarkan oleh argumen dari metode kasus paralel; prediksi didasarkan pada argumen yang berasal dari sebab dan analogi; dan konjektur didasarfkan pada argumen yang berdasar pada fikiran dan motivasi. Peramalan dapat digunakan untuk membuat estimasi tentang tiga tipe situasi masyarakat masa depan: masa depan potensial, masa depan yang masuk akal, dan masa depan normatif. Tujuan dan sasaran dapat dibandingkan dan dipertentangkan dalam hal dan arah tujuannya, tipe definisi, spesifikasi periode waktu, prosedur pengukuran, dan perlakuan terhadap kelompok target.
Pemahaman dan penggunaan teknik peramalan dibuat lebih mudah jika mereka dikelompokkan menurut tiga pendekatan: ekstarpolatif, teoritis, dan intuitif. Pendekatan-pendekatan yang berbeda mengenai peramlan bersifat saling melengkapi. Kelebihan dari satu pendekatan atau teknik seringkali merupakan keterbatasan dari yang lainnya, demikian sebaliknya.
Metode analisis kebijakan sangat terkait dengan persoalan moral dan etika, karena rekomendasi kebijakan mengharuskan kita menentukan alternatif-alternatif mana yang paling bernilai dan mengapa demikian. Rekomendasi berkenaan pemilihan secara bernalar dua atau lebih alternatif. Model pilihan yang sederhana meliputi definisi masalah yang memerlukan dilakukannya suatu tindakan; perbandingan konsekuensi dua atau lebih alternatif untuk memcahkan masalah; dan rekomendasi alternatif yang paling dapat memenuhi kebutuhan, nilai atau kesempatan.
Model pilihan yang sederhana mengandung dua elemen utama: premis fakta dan premis nilai. Model pilihan sederhana menghindari kompleksitas dari kebanyakan situasi pilihan, karena model ini didasarkan pad tiga asumsi yang tidak realistis: pembuat keputusan tunggal; kepastian; dan hasil yang terjadi pada satu titik waktu. Model pilihan yang kompleks didasarkan pada asumsi-asumsi yang lain: banyaknya pembuat kebijakan; ketidakpastian atau resiko; dan akibat yang terus berkembang sejalan dengan berjalannya waktu.
Sebagian besar pilihan adalah bersifat multirasional karena pilihan-pilihan tersebut mempunyai dasar rasional yang banyak pula. Bukti tentang hal ini ditunjukkan dengan adanya enam rasionalitas: teknis, ekonomis, legal, sosial, substantif, dan erotetis.
Agar pilihan menjadi rasional dan pada saat yang sama komprehensif, maka pilihan-pilihan tersebut harus memuaskan kondisi yang dilukiskan sebagai teori rasionalitas komprehensif dalam pembuatan keputusan. Tipe-tipe pilihan yang rasional dibedakan menurut bentuk kriteria penentuan alternatif. Antara lain adalah efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan, daya tanggap dan kelayakan.
Jawaban terhadap persoalan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara: memaksimalkan kesejahteraan individu, melindungi kesejahteraan minimal (pareto), memaksimalkan kesejahteraan bersih (kaldor-hicks), memaksimalkan redistribusi kesejahteraan (rawls).
Dalam membuat rekomendasi analisis kebijakan secara khusus menjawab berbagai persoalan tentang sasaran, biaya, hambatan-hambatan, eksternalitas waktu. Dan resiko serta ketidakpastian. Pilihan publik dan swasta berbeda dalam tiga hal: hakekat proses kebijakan publik, hakekat tujuan kebijakan publik yang bersifat kolektif, dan arti barang-barang publik. Dua pendekatan utama untuk rekomendasi analisis kebijakan publik adalah analisis biaya-manfaat dan analisis biaya efektivitas. Dalam melakukan analisis biaya-manfaat adalah perlu untuk melengkapi serangkaian langkah-langkah: spesifikasi sasaran. Identikasi alternatif, pengumpulan, analisis dan interpretasi informasi; spesifikasi kelompok sasaran; identifikasi tipe-tipe biaya dan manfaat; melakukan diskonting terhadap biaya dan manfaat; spesifikasi kriteria untuk merekomendasi; dan rekomendasi itu sendiri. Analisis biaya efektifitas tepat digunakan jika sasaran-sasaran tidak dapat diungkapkan dalam pendapatan bersih.
Pemantauan merupakan prosedur analisis kebijakn guna menghasilkan informasi tentang penyebab dan konsekuensi dari kebijakan-kebijakn publik. Pemantauan bermaksud memberikan pernyataan yang bersifat penandaan dan oleh karenanya terutama berkepentingan untuk menetapkan premis-premis faktual tentang kebijakan publik. Pemantauan menghasilkan pernyataan yang bersifat penandaan setelah kebijakan dan program diadopsi dan diimplementasikan (ex posy facto), sedangkan peramalan menghasilakan pernyataan yang bersifat penandaan sebelum tindakan dilakukan (ex ante).
Informasi yang dihasilkan melalui pemantauan memiliki setidak-tidaknya empat fungsi: ketundukan, pemerikasaan, akuntansi, dan eksplanasi. Ada dua jenis hasil kebijakan: keluaran dan dampak. Tindakan kebijakan juga ada dua: masukan dan proses. Sementara itu, tindakan kebijakan memiliki dua tujuan utama: regulasi dan alokasi. Pemantauan dapat dipilah ke dalam empat pendekatan: akuntansi sistem sosial, eksperimental sosial, pemeriksan sosial, pemeriksaan sosial, dan sintesis riset dan praktek.
Pendekatan-pendekatan terhadap pemantauan memperhatikan hasil-hasil yang berkaitan dengan kebijakan, berfokus pada tujuan, dan orientasi pada perubahan. Eksperimental sosial berusaha untuk mengikuti prosedur yang digunakan dalam eksperimen klasik dalam laboratorium: kontrol langsung terhadap perlakuan atau stimuli; ada kelompok pembanding (kontrol); rancangan yang acak. Kapasitas eksperimen sosial untuk menghasilkan inferensi kausal yang valid disebut validitas internal. Pemeriksaan sosial merupakan respon konstruksi terhadap keterbatasan dan akuntansi sistem sosial dan eksperimental sosial.
Sintesis riset dan praktek menggunakan informasi yang tersedia dalam bentuk studi kasus dan laporan penelitian untuk merangkum, membandingkan, dan mengkaji hasil-hasil dari implementasi kebijakan dan program di masa lalu. Metode ini efisien, membantu mencakup banyak dimensi dari proses kebijakan, dan dapat digunakan untuk mebuat argumen dengan cara kasus paralel dan analogi. Keterbatasan utama dari sintesis riset dan praktek adalah reliabilitas dan validitas informasi yang tersedia tersebut.
Evaluasi mempunyai beberapa karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan yang lain: titik berat kepada nilai hubungan ketergantunagn antara nilai dan fakta; orientasi masa kini dan masa lalu; dan dualitas niali. Fungsi-fungsi utama dari analisis kebijakan adalah penyediaan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan; kejelasan dan kritik niali-nilai yang mendasari pilihan tujuan dan sasaran dan penyediaan informasi bagi perumusan masalah dan inferensi praktis. Kriteria evaluasi kebijakan: efektifitas, estimasi, kecukupan, kesamaan, daya tanggap, dan kelayakan. Tiga pendekatn utam evaluasi dalam analisis kebijakan: evaluasi semu, evaluasi formal; dan evaluasi teoritis keputusan .
Secara umum, metodologi yang dipakai dalam telahaan ini adalah studi evaluasi kebijakan publik sensitif konteks. Metodologi ini dipandang sesuai karena kondisi Indonesia yang sangat beragam dimana daerah telah mengembangkan respon dari berbagai bencana yang dialami serta kondisi daerah yang sangat beragam sebagai konsekuensi dari proses pengembangan wilayah dan otonomi daerah.
Context-sensitive methods highlight policy research tools and analytic strategies that allow more systematic and rigorous research in situations where variations in context and setting are important aspects of data observations. Where data is not obvious or not easily available, both data collection tools and analysis procedures must be sensitive to the contextual specificity of the information and measurements in play.
Evaluasi kebijakan publik dalam studi kebijakan publik merupakan salah satu tahapan dari proses kebijakan publik. Evaluasi kebijakan publik dimaksudkan untuk melihat atau mengukur kinerja pelaksanaan suatu kebijakan. Selain itu evaluasi kebijakan juga dapat digunakan untuk melihat apakah sebuah kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang telah ditentukan.

A. Pendekatan Evaluasi Kebijakan
Di dalam melakukan evaluasi terhadap suatu program/kebijakan, dapat digunakan sejumlah pendekatan yang berbeda yang tentunya akan mempengaruhi indikator yang digunakan, antara lain :
1. Pendekatan berdasarkan sistem nilai yang diacu.
2. Pendekatan berdasarkan dasar evaluasi.
3. Pendekatan berdasarkan kriteria evaluasi.
1. Pendekatan Berdasarkan Sistem Nilai yang Diacu
Pendekatan berdasarkan sistem nilai yang diacu ada tiga jenis, yaitu evaluasi semu, evaluasi teori keputusan dan evaluasi formal.
a. Evaluasi Semu (Pseudo Evaluation)
Sifat dari Evaluasi semu ini adalah melakukan penilaian berdasarkan parameter tertentu yang secara umum disepakati (self evident) dan tidak kontroversial (uncontroversial). Hasil evaluasinya mudah diterima oleh publik dan tidak terlalu rumit (complicated). Penilaiannya berkisar antara gagal atau berhasil. Pseudo evaluation ini seringkali dijadikan sebagai salah satu metode monitoring.
b. Evaluasi Teori Keputusan (Decision Theoretic Evaluation/ DTE)
Sifat dari DTE adalah melakukan penilaian berdasarkan parameter yang disepakati oleh pihak-pihak yang terkait secara langsung/pihak yang bersitegang. Sistem nilainya juga berdasarkan kesepakatan antara pihak yang bersitegang. Biasanya berkisar antara benar atau salah.
c. Evaluasi Formal (Formal Evaluation)
Sifat dari evaluasi formal adalah melakukan penilaian berdasarkan parameter yang ada pada dokumen formal seperti tujuan dan sasaran yang tercantum dalam dokumen kebijakan rencana tata ruang, peraturan perundang-undangan dan sebagainya.
Dalam evaluasi formal, metode yang ditempuh untuk menghasilkan informasi yang valid dan reliable ditempuh dengan beberapa cara antara lain:
• Merunut legislasi (peraturan perundang-undangan);
• Merunut kesesuaian dengan kebijakan yang tercantum pada dokumen formal yang memiliki hierarki diatasnya;
• Merunut dokumen formal (kesesuaian dengan hasil yang diharapkan /tujuan dan sasaran); dan
• Interview dengan penyusun kebijakan atau administrator program.
Evaluasi formal terbagi atas 2 jenis, yaitu summative evaluation dan formative evaluation. Summative evaluation adalah upaya untuk mengevaluasi program/kegiatan yang telah dilakukan dalam kurun waktu tertentu, umumnya dilakukan untuk mengetahui/mengevaluasi program/kegiatan yang relatif sering dilakukan dan karena indikatornya tetap/baku. Formative evaluation adalah upaya untuk mengevaluasi pelaksanaan program/kegiatan secara kontinyu, karena merupakan program/kegiatan yang relatif baru dan indikatornya dapat berubah-rubah.
2. Pendekatan Berdasarkan Dasar Evaluasi
Pendekatan berdasarkan dasar evaluasi ada 6 jenis yaitu:
a. Before vs after comparison (pembandingan antara sebelum dan sesudah)
Karakteristik dari pendekatan jenis ini antara lain hanya berlaku untuk satu komunitas yang sama dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah adanya intervensi.
b. With vs without comparisons (pembandingan antara dengan atau tanpa intervensi)
Karakteristik dari pendekatan jenis ini antara lain hanya berlaku untuk lebih dari satu komunitas (>1) dengan membandingkan antara komunitas yang diberi intervensi dengan komunitas yang tidak diberi intervensi dalam waktu yang bersamaan.
c. Actual vs planned performance comparisons (pembandingan antara kenyataan dengan rencana)
Karakteristik dari pendekatan jenis ini antara lain membandingkan antara rencana dengan kenyataan di lapangan (sesuai atau tidak).
d. Experimental (controlled) models
Karakteristik dari pendekatan ini adalah melihat dampak dari perubahan kebijakan/policy terhadap suatu kegiatan yang memiliki standar ketat. Dampaknya dilihat dari proses dan hasil kegiatan tersebut.
e. Quasi experimental (uncontrolled) models
Karakteristik dari pendekatan ini adalah melihat dampak dari perubahan kebijakan/policy terhadap suatu kegiatan yang tidak memiliki standar tidak memiliki standar. Dampaknya dilihat hanya berdasarkan hasilnya saja, sedangkan prosesnya diabaikan.
f. Efisiensi penggunaan dana (Cost Oriented Approach)
Cost Oriented Approach terbagi tiga yaitu ex-ante evaluation, on-going evaluation dan ex-post evaluation. Ex-ante evaluation adalah evaluasi yang dilakukan sebelum kegiatan tersebut dilaksanakan. On-going Evaluation adalah evaluasi yang dilakukan saat kegiatan tersebut sedang berjalan. Ex-post evaluation adalah evaluasi yang dilakukan setelah kegiatan tersebut selesai.
3. Pendekatan Berdasarkan Kriteria Evaluasi
Pendekatan berdasarkan kriteria evaluasi terbagi atas 6 indikator, yaitu:
a. Efektivitas
Penilaian terhadap efektivitas ditujukan untuk menjawab ketepatan waktu pencapaian hasil/ tujuan. Parameternya adalah ketepatan waktu.
b. Efisiensi
Penilaian terhadap efisiensi ditujukan untuk menjawab pengorbanan yang minim (usaha minimal) untuk mencapai hasil maksimal. Parameternya adalah biaya, rasio, keuntungan dan manfaat.
c. Adequacy/ketepatan dalam menjawab masalah
Penilaian terhadap adequacy ditujukan untuk melihat sejauh mana tingkat pencapaian hasil dapat memecahkan masalah.
d. Equity / pemerataan
Penilaian terhadap equity ditujukan untuk melihat manfaat dan biaya dari kegiatan terdistribusi secara proporsional untuk aktor-aktor yang terlibat.
e. Responsiveness
Penilaian terhadap responsiveness ditujukan untuk mengetahui hasil rencana/kegiatan/kebijaksanaan sesuai dengan preferensi/keinginan dari target grup.
f. Appropriateness/ketepatgunaan
Penilaian terhadap ketepatgunaan ditujukan untuk mengetahui kegiatan/rencana/kebijaksanaan tersebut memberikan hasil/ keuntungan dan manfaat kepada target grup. Standar tingkat keuntungan dan manfaat sangat relatif sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada target grup tersebut.
Secara umum, pendekatan yang dipakai untuk melaksanakan studi evaluasi ini adalah pendekatan evaluatif empiris. Empiris, yaitu melihat apa dan bagaimana konsep dan framework pelaksanaan mitigasi bencana di provinsi dan kabupaten. Pendekatan empiris merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk memperoleh data lapangan dan memetakan strategi mitigasi bencana di beberapa tingkatan pemerintahan yang berlaku selama ini. Hasil pemetaan ini juga akan menjadi dasar untuk memilah dan menganalisa kegiatan mitigasi bencana di sejumlah departemen/lembaga dan pemerintah daerah. Evaluatif, yaitu menilai keefektifan pelaksanaan kebijakan, strategi dan operasional mitigasi bencana dan normatif dengan mengusulkan konsep dan framework pelaksanaan mitigasi bencana sebagai masukan untuk penyempurnaan kebijakan, strategi dan operasional yang sudah ada.

B. Metode Telahaan
Berdasarkan tujuan telahaan dan dengan mempertimbangkan keterbatasan data dan sumber data yang ada, maka metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah instrumen kunci, dengan teknik pengambilan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna daripada generalisasi. Hal ini sangat sesuai dengan tujuan telahaan yang mencoba menangkap berbagai kebijakan (dari strategi hingga operasional) penanggulangan bencana lalu menganalisa dan memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan, baik kebijakan nasional maupun kebijakan tingkat daerah .

Jumat, 19 Februari 2010

ADMINISTRASI PUBLIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Secara etimologis, administrasi publik (Public Administratiion) berasal dari dua kata, yakni Administrasi dan Publik. Administrasi, dalam arti luas, dapat didefiniskan sebagai kerjasama dua orang atau lebih yang berdasar pada rasionalitas yang tinggi untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, yang dilakukan dalam suatu wadah organisasi. Sedangkan, secara sempit Administrasi dapat diartikan kegiatan catat-mencatat atau ketatausahaan (clarrical work).
Sementara itu, Publik merupakan sekelompok orang/ masyarakat yang memiliki interst yang sama.

Administrasi Negara (publick administration) pada dewasa ini telah diberikan arti yang lebih dari sekedar pengertian tradisional. Dewasa ini tidaklah mudah mendefiniskan “administrasi publiik”. Ada tiga alasan pokok. Pertama, karena begitu banyak definisi Administrasi Publik. Bahkan The Liang Gie (1981), berhasil menginventarisir 45 definisi administrasi publik. Kerumitan semakin bertambah karena istilah ini berasal dari bahasa inggris, yaitu public administration, di mana tidak ada kesepakatan atau ketunggalan dalam penerjemahan ke bahasa Indonesia. Kamus Inggris-Indonesia yang paling banyak digunakan di Indonesia karya John M. Enchols dan Hasan Shadily, bahkan menerjemahkan “public administration” sebagai “ilmu ketataprajaan, ilmu usaha negara, administrasi pemerintahan atau negara”.
Kedua, kalaupun public administration “hanya” dianggap sebagai “ilmu usaha negara”, maka urusan “negara” di hari ini berkembang dibanding “negara di masa lalu”. Negara bahkan membentuk berbagai organisasi yang tidak diurus dengan “cara negara” saja. Hal ini ditunjukkan dalam bentuk adanya Badan-Badan Usaha Milik Negara (baik yang dikelola negara maupun bukan oleh negara, lembaga-lembaga kemitraan antara negara dan sektor masyarakat yang berupa quast government organization.
Outpur dari administrasi negara bukan saja seuatu yang mengatur kehidupan bersama warganya, namun untuk membangun kemampuan organisasi di dalam lingkup nasional untuk menjadi organisasi-organisasi yang mampu bersaing dengan kapasitas global.
Ketiga, administrasi negara semakin menemui kenyataan akan kompleksitas sebagai akibat keluasan dan kerumitan di dalam misinya dengan munculnya konsep Good Governance. Istilah ini diindonesiakan oleh Lembaga Administrasi Negara sebagai “Kepemerintahan yang Baik” (LAN, 2000). Kepemerintahan yang baik menjadi isu terdepan dalam penyelenggaraan kehidupan negara. Masyarakat semakin menuntut pemerintah untuk menyelenggarakan kepemerintahan yang baik sejalan dengan semakin tingginya tingkat pengetahuan dan kompetensi masyarakat.

Nicholas Henry telah menyatakan bahwa “For the letter part of the twentieth century, the public bureaucracy has been the locus of the public policy formulation and the major of where this country is going .” Nigro dan Nigro mendefinisikan pengertian administrasi negara secara tegas sekali menetapkan bahwa “Public Administration ... has an important role in the formulation of public policy and is thus part of the political process ”.

KEPEMERINTAHAN YANG BAIK
Administrasi publik dalam konteks kepemerintahan yang baik ini kemudian menyangkut negara dan seluruh aktor atau lembaga-lembaga yang terkait di dalam sistem politik di dalamnya.

BIROKRASI
Menurut Pfifner dan Pesthus (1950), administrasi publik adalah kegiatan yang berkenaan dengan implementasi kebijakan publik yang telah dibuat sebelumnya oleh lembaga-lembaga perwakilan politik. Jadi, administrasi publik dapat didefinisikan sebagai koordinasi dari upaya individu dan kelompok untuk menjalankan kebijakan publik yang berarti menyangkut kegiatan sehari-hari dari sebuah pemerintah (government).

Gordon (1986) mendefiniskan administrasi publik adalah segala proses, organisasu, dan individu yang berkenaan dengan implementasi peraturan yang dibuat atau diterima oleh legislatif, eksekutif, dan yudikatif atau kehakiman.
Administrasi publik, seperti yang dirumuskan oleh Pfiffner dan Presthus (1967), adalah sebuah disiplin ilmu yang terutama mengkaji cara-cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai politik. Hal tersebut sejalan dengan gagasan awal Woodrow Wilson (1887) yang dianggap sebagai orang yang membidani lahirnya ilmu administrasi publik modern di Amerika Serikat. Ia mengemukakan bahwa disiplin administrasi publik merupakan produk perkembangan ilmu politik, namun Wilson mengusulkan adanya pemisahan disiplin administrasi dari ilmu politik. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai dikotomi politik-administrasi. Ilmu administrasi publik, menurut Wilson, berkaitan dengan dua hal utama, yaitu:
1. What government can properly and successfully do?
2. How it can do these proper things with the utmost possible efficiency and at the least possible cost either of money or of energy?
Bertolak dari gagasan dasar tersebut, dapat diyakini bahwa administrasi publik dapat berperan positif dalam mengawal proses demokratisasi sampai pada tujuan yang dicita-citakan, karena pada dasarnya administrasi publik berurusan dengan persoalan bagaimana menentukan to do the right things dan to do the things right. Dengan kata yang berbeda, administrasi publik bukan saja berususan dengan cara-cara yang efisien untuk melakukan proses demokratisasi, melainkan juga mempunyai kemampuan dalam menentukan tujuan proses demokratisasi itu sendiri, terutama dalam bentuk penyelenggaraan pelayanan publik secara efektif sebagai wujud dari penjaminan hak-hak konstitusional seluruh warga negara.

Persoalannya sekarang adalah, mungkinkah para administrator publik dapat menjadi tulang punggung bagi proses demokratisasi? Jawaban empirik terhadap pertanyaan tersebut mempunyai dua versi. Dalam satu situasi, peran para administrator publik dalam menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan demokratisasi cukup signifikan. Di Taiwan, misalnya, seperti juga di beberapa negara sedang berkembang lain, pemerintah berurusan dengan masalah dilematis bagaimana merekonsiliasi pertentangan antara budaya tradisional, kultur demokrasi baru dan industrialisasi sebagai usaha negara membangun ekonomi. Untuk menghadapi persoalan tersebut, para ahli administrasi publik membantu para pengambil keputusan di Taiwan untuk menyelesaikan reformasi administratif yang kompleks dengan menggunakan pendekatan perencanaan strategis (Sun dan Gargan, 1996).

Mengenai peran administrasi publik tersebut, O’Toole (1997) membuat kesimpulan bahwa administrasi publik yang berkembang saat ini sangat mendukung proses demokratisasi, karena sudah tidak terlalu hirarkis dan parokial, tetapi lebih mirip sebuah jaringan (network). Kecenderungan ini mempunyai implikasi yang sangat penting dan positif terhadap perkembangan demokrasi, termasuk tanggungjawab yang berubah terhadap kepentingan publik; terhadap pemenuhan prefrensi publik, dan terhadap perluasan liberalisasi politik, kewargaan, dan tingkat kepercayaan publik. Administrasi publik yang berbentuk jaringan dapat mengatasi hambatan menuju pengelolaan yang demokratik, dan dapat membuka kemungkinan untuk memperkuat pemerintahan yang bergantung kepada nilai-nilai dan tindakan-tindakan administrasi publik. Hal tersebut dikemukakan O’Toole dalam rangka mengenang Dwight Waldo yang juga pernah mengemukakan, bahwa jika administrasi adalah inti dari pemerintahan, maka teori demokrasi harus pula mencakup administrasi.

Dalam situasi lain, administrator publik tidak dapat diharapkan menjadi katalisator proses demokratisasi. Di negara-negara Afrika sub-sahara, seperti juga di tempat lain, ketika rezim militer menguasai pemerintahan, mereka memerintah dengan komando; melarang partai-partai politik, membekukan konstitusi, dan melumpuhkan lembaga-lembaga legislatif. Sebagai akibatnya, tidak ada saluran institusi politik bagi warganegara pada proses pengambilan keputusan. Penguasa militer biasanya memperoleh input bagi proses perumusan dan pengambilan keputusan dengan cara mengangkat elit politik sipil. Hal tersebut dilakukan sebagai respons terhadap tuntutan transisi kepada pihak sipil dan sebagai teknik politik untuk melakukan proses sipilisasi rezim militer. Pengalaman empirik menunjukkan, bahwa keterlibatan sipil dalam rejim militer merupakan prediktor bahwa rezim tersebut akan mengikuti aturan-aturan militer dan bukan sebaliknya. Dalam konteks inilah administrasi publik tidak kondusif bagi proses kristalisasi demokrasi, tetapi malah sebaliknya, dapat menjadi katalisator bagi pelanggengan pemerintahan lama yang otoriter. Dalam banyak hal, reformasi politik yang bergulir sampai saat ini, sekali lagi tampak berada dalam jalur yang benar. Yang dibutuhkan adalah kesabaran untuk bertahan dan konsistensi untuk melakukan langkah-langkah sistematik yang diperlukan. Proses demokratisasi di Indonesia tidak hanya diuji melalui pemilihan presiden secara langsung, namun terutama ditantang untuk mampu keluar dari berbagai masalah agar dapat memenangkan pertarungan dengan bangsa-bangsa lain.

Dari apa yang telah dikemukakan di atas, administrasi publik dapat menempati tempat di jantung gerakan demokratisasi politik, asal memenuhi paling tidak tiga persyaratan. Pertama, mampu melakukan perencanaan strategis yang menyeluruh seperti yang dilakukan di Taiwan seperti yang dikemukakan Sun dan Gargan. Kedua, mempunyai struktur organisasi yang tidak terlalu hirarkis dan parokial seperti yang dikemukakan O’Toole. Ketiga, membebaskan diri dari pendekatan dan kultur militeristik dalam melakukan pelayanan publik. Mengenai perencanaan strategis, Indonesia mempunyai pengalaman dan institusi perencanaan seperti Bappenas di tingkat pusat, dan Bappeda di tingkat daerah. Yang diperlukan adalah revitalisasi dan reposisi fungsi-fungsi institusional yang disesuaikan dengan konteks demokrasi yang dikehendaki. Mekanisme perencanaan bottom-up dapat terus dijalankan bukan sekedar basa-basi atau mencari legitimasi. Untuk dua syarat yang terakhir, struktur dan kultur birokrasi, masih membutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk melakukan perubahan secara inkremental untuk mengurangi (jika tidak dapat menghindari) biaya sosial, politik, dan ekonomi yang tinggi. Dalam kaitan dengan ini, pembicaraan mengenai isu reformasi administrasi publik tetap memiliki relevansi. Pertanyaan berikutnya adalah reformasi ke arah mana?

Uraian di atas paling tidak merupakan sebuah isyarat ke arah mana reformasi administrasi publik harus menuju. Salah satu gerakan reformasi administrasi publik yang juga sempat populer di awal 90-an muncul dalam kemasan ‘reinventing government’ yang berakar pada tradisi dan perspektif New Public Management yang merupakan kristalisasi dari praktek administrasi publik di Amerika Serikat. Para pendukung gerakan ini berpendapat, bahwa institusi-institusi administratif yang didirikan dalam kerangka birokrasi dengan model komando dan pengawasan telah berubah secara signifikan selama abad ke 20, dan harus terus diubah. Birokrasi jenis ini tidak lagi efektif, efisien dan sudah ketinggalan zaman dalam tatanan ekonomi-politik dunia yang semakin mengglobal. Oleh karena itu birokrasi di Amerika Serikat harus melakukan reformasi institusi administrasi publik agar lebih memiliki karakter kewirausahaan. Apakah reformasi administrasi publik seperti ini layak menjadi model bagi reformasi administrasi publik di tanah air?
Tampaknya perlu disimak lebih cermat hasil-hasil penelitian di balik hingar-bingarnya konsep reinventing government. Wolf (1997), dengan menggunakan meta-analisis terhadap 170 studi kasus dari 104 biro federal, menyimpulkan bahwa jalan menuju efektivitas birokrasi dari biro-biro pemerintah federal tidaklah mengalami perubahan; tiada berkesudahan dan lebih bersifat politis daripada kisah reinventing government seperti yang umumnya dipercaya orang. Kritik terhadap pendekatan kewirausahaan administrasi publik juga ditunjukkan oleh Cope (1997) yang menyorotinya dari sudut responsivitas politik. Ia berpendapat, bahwa banyak konsep dan teknik yang berhubungan dengan reformasi birokrasi sekarang ini (baca: reinventing government) sarat dengan berbagai implikasi negatif terhadap responsivitas politik.

Ada empat kesimpulan yang dihasilkan penelitiannya.
1. Pertama, review terhadap unjuk kerja pegawai memang mampu memperkuat birokrasi dan para pejabat terpilih, namun ternyata cenderung memperlemah responsivitas politik para administrator publik tersebut.
2. Kedua, dengan mengadopsi pendekatan kewirausahaan terhadap sistem keuangan publik, memang ada peluang untuk meningkatkan jumlah pendapatan, namun hal tersebut cenderung mengurangi tingkat responsivitas politik.
3. Ketiga, penekanan terhadap pelayanan pelanggan tidak serta merta meningkatkan responsivitas politik, karena dalam prakteknya hal itu ternyata berarti hanya memperhatikan kepentingan individu-individu tertentu; padahal pelayanan kepada masyarakat seharusnya ditujukan untuk meningkatkan responsivitas kepada publik tanpa diskriminasi.
4. Keempat, kemitraan sektor publik dengan swasta yang ditawarkan oleh model reinventing government, dalam prakteknya ternyata menimbulkan masalah etik. Khusus mengenai masalah etik, Ghere (1997) menyimpulkan bahwa dalam gema ‘reinventing government’, ada indikasi bahwa etika administrasi publik terlupakan. Ia melakukan studi kasus tentang kemitraan antara ‘county government’ (setingkat kecamatan) dengan ‘local chamber of commerce’ (Kadin-daerah) dari dua perspektif, standar moral pribadi para pelaku dan etika kebijakan institusional. Studi kasus ini memperlihatkan adanya penyalahgunaan keuangan publik dalam kemitraan dua lembaga tersebut. Jika di tempat kelahirannya saja, model yang ditawarkan secara global tersebut sarat dengan masalah, haruskah kita latah menggunakan pendekatan yang sama tanpa kajian seksama?

Model alternatif reformasi administrasi publik yang mendukung proses kristalisasi demokrasi adalah model Korea Selatan seperti yang digambarkan oleh Jung (1996). Bagi masyarakat Korea Selatan, reformasi aparat atau para pejabat administratif bukanlah merupakan isu utama. Mereka lebih tertarik pada dua hal; proses demokratisasi politik dan teknik penyaluran langsung ‘public goods and services’ kepada rakyat. Dari praktek menunjukkan bahwa, baik proses demokratisasi politik maupun kualitas dan kuantitas pelayanan pemerintah, pada kenyataannya sangat tergantung pada sistem administrasi publik. Oleh karena itu, reformasi administratif yang dibuat Kim Young-Sam yang merupakan pemerintahan sipil pertama setelah 30 tahun rezim militer, mempunyai dampak yang sangat besar terhadap dua hal. Pertama, tumbuhnya ekonomi Korea Selatan. Kedua, meningkatnya menambah legitimasi negara di depan rakyat, meskipun pemerintahan Kim adalah regim sipil yang dibentuk melalui prosedur demokratik oleh politisi-politisi sipil. Dari kasus Korea, orang paling tidak dapat belajar tiga hal. Pertama, menempatkan reformasi administrasi publik dalam agenda politik merupakan langkah yang strategis. Kedua, proses demokratisasi selain menjadi tujuan, juga menjadi sarana bagi tujuan yang lebih utama, menyelenggarakan pelayanan publik. Ketiga, memperbaiki sikap aparat merupakan hal yang baik, namun lebih penting membangun sistem yang memungkinkan aparat bertindak baik. Keempat, legitimasi negara di depan rakyat tidak selalu harus ditegakkan dengan senjata. Orang sipil pun mampu memimpin dan mengurus negara. Model manakah yang tepat untuk Indonesia? Kiranya perlu dikaji lebih teliti, karena apa yang berhasil di tempat lain, belum pasti tepat untuk diadopsi. Sebaliknya, jika sudah ada orang yang pernah melakukannya, mengapa harus mulai dari awal just to reinvent the wheel?
Beberapa rekomendasi terinspirasi oleh prinsip-prinsip revitalisasi konsep publik yang, disertai dengan usaha untuk melebarkan pandangan melalui komparasi dengan pengalaman bangsa lain, serta dengan melakukan kontemplasi teoritik, penulis mencoba mengajukan beberapa rekomendasi yang mungkin berguna untuk melakukan reformasi administrasi publik di Indonesia, yang tidak hanya diarahkan untuk mendukung proses demokratisasi, namun juga dalam rangka memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat tanpa diskriminasi, baik secara politik, etnik, kelas sosial, agama, maupun kelompok budaya. Secara substansial reformasi administrasi publik harus diarahkan pada revitalisasi konsep publik, yang berlandas pada kepatuhan terhadap konstitusi, pemahaman tentang virtuous citizen, pemahaman tentang kepentingan publik, dan pemahaman tentang kebajikan dan kasih. Belajar dari Korea Selatan, secara formal reformasi administrasi publik harus diarahkan pertama-tama dan terutama pada pembangunan sistemik yang menyangkut perubahan struktur administrasi, pengembangan kultur baru, penetapan prosedur-prosedur kerja, dan bukan pada aparatnya.
Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa reformasi administrasi tidak perlu menyentuh pengembangan manusia yang harus bekerja di dalam sistem. Ini adalah tugas pendidikan administrasi publik.

Dalam hal ini berlaku prinsip, the first things first. Investasi waktu, uang dan energi untuk membangun sistem yang memungkinkan orang biasa dapat bekerja baik, selalu lebih baik dari pada melakukan investasi untuk mengembangkan orang-orang hebat untuk bekerja dalam sistem yang buruk. Mengenai pilihan ini, ada pengalaman menarik. Ketika seorang mahasiswa ditanya apakah dia akan korupsi jika nanti menjadi pejabat publik. Dia menjawab, ”... tidak janji, Pak.” Ketika ditanya lagi mengapa? Sambil berkelakar dia membalas, ”...kalaupun malaikat dari surga disuruh jadi pegawai negeri di Indonesia, dia pasti korupsi juga, apalagi saya. Kecuali jika ada yang mampu mengubah keadaan di bumi Indonesia seperti di dalam surga...” Sebuah kelakar yang sungguh tidak lucu, namun memberi inspirasi dari mana reformasi administrasi publik harus dimulai, jika tidak ingin menempatkan anak-anak muda yang penuh idealisme dan kesungguhan bekerja, dalam lingkungan yang menjadikan mereka apatis.

Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi pada masyarakat modern benar-benar dipandang memprihatinkan, sehingga digambarkan adanya ramalan mengenai makin menggejalanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang paling rasionalpun, tidak bisa lagi dianggap sebagai kabar menggembirakan, melainkan justru merupakan pertanda malapetaka dan bencana baru yang menakutkan (Blau dan Meyer, 2000: 3).
Siagian (1994), misalnya, mengakui adanya patologi birokrasi. Hal itu dicirikan oleh kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan, tindakan melanggar hukum, keperilakuan, dan adanya situasi internal. Demikian juga Kartasasmita (1995) menyebutkan, bahwa birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self serving), mempertahankan statusquo dan resisten terhadap perubahan, dan memusatkan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung lebih mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan menghambat kemajuan. Benarkah demikian ?

Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidakobyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian (Santoso, 1993; Thaba, 1996; Fatah, 1998), bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungann terjadinya birokrasi yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.
Untuk melihat lebih dalam mengenai birokrasi, kita terlebih dahulu harus mengerti mengenai struktur formal. Struktur formal ini sangat penting dipahami makna dari birokrasi itu sendiri.

Max Weber merincikan sepuluh ciri birokrasi ideal, yaitu :
1. Para anggotanya (staf) secara pribadi bebas, dan hanya melakukan tugas-tugas impersonal dari jabatan-jabatannya.
2. Terdapat hierarki jabatan yang jelas.
3. Fungsi-fungsi jabatan diperinci dengan jelas.
4. Para pejabat diangkat berdasarkan kontrak.
5. Mereka diseleksi atas dasar kualifikasi profesional yang secara ideal diperkuat dengan diploma yang diperoleh melalui ujian.
6. Mereka digaji dengan uang dan biasanya mempunyai hak-hak pensiun.
7. Pekerjaan pejabat adalah pekerjaan yang satu-satunya dan yang
8. Terdapat suatu struktur karier dan kenaikan pangkat adalah yang mungkin baik melalui senioritas ataupun prestasi dan sesuai dengan penilaian para atasan.
9. Pejabat tidak boleh mengambil kedudukannya sebagai miliknya pribadi begitu pula sumber-sumber yang menyertai kedudukan itu.
10. Pejabat tunduk kepada pengendalian yang dipersatujan dan sistem disipliner.

Dalam memahami domain pemerintahan di dalam administrasi publik, ada dua hal yang menjadi acuan, yaitu :
1. isu yang dibahas adalah Kebijakan Publik.
2. aktor terpenting dalam kebijakan publik adalah pemerintah. Namun, pemerintah dalam hal ini identik dengan organisasi publik di dalam makna negara.
Menurut konsep demokrasi modern, kebijakan publik tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik (public opinion) juga nenpunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan (tercermin) dalam kebijakan-kebijakan negara. Setiap kebijakan negara harus selalu berorientasi pada kepentingan publik (public interest).

Kebijakan (policy) diberi arti yang bermacam-macam. Harold D. Lasswell dan Abraham Haplan memberi arti kebijakan sebagai a project program of goals, values and practices .
1. Carl J. Friedrick mendefinisikan kebijakan sebagai “ ... a porposed course of action of a person, a group, or government within a given environment providing obstacles and opportunities which the policy was proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal or realize an objective or a propose ”.
2. Amara Raksasataya mengemukakan kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, suatu kebijakan memuat tiga element, yaitu :
1). Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai
2). Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan
3). Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
3. Donald F. Kettl mengemukakan bahwa memasuki milenium ketiga, administrasi publik menghadapi empat isu kritikal. Pertama, struktur yang berkenaan dengan tantangan menguatnya swasta dan menyusutnya pemerintah. Kedua, berkenaan dengan proses administrasi publik, yaitu yang memperhadapkan kenyataan bahwa sumber defisit terbesar di setiap negara adalah proses penyelenggaraan administrasi publik. Ketiga, tentang nilai, yang antara lain berkenaan dengan munculnya ikon entrepeneurial government. Keempat, kapasitas, yaitu memanajeni urusan-urusan publik. Dan tambahan adalah kebijakan publik.
4. Kebijakan (Wilson, 1887) dapat diartikan sebagai seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik dan mempunyai pengaruh yang sangat luas. Dengan demikian, yang dimaksud dengan ilmu kebijakan adalah ilmu yang menjelaskan proses pembuatan kebijakan atau menyediakan data yang dibutuhkan dalam membuat keputusan yang rasional terkait dengan persoalan tertentu. Ilmu kebijakan (Lasswell, 1951) mencakup tiga hal, yaitu metode penelitian proses kebijakan, hasil dari studi kebijakan, dan hasil temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan intelegensi.
5. Pandangan ilmu kebijakan (Lasswell, 1970) mengandung ciri khas, yakni a) Berorientasi persoalan; b) Harus multidisipliner dan melibatkan sintesis dari berbagai ide dan teknik penelitian (multimetode); dan c) Harus menciptakan kreativitas dalam menganalisis persoalan. Selanjutnya Lasswell menyatakan bahwa ilmu kebijakan menggunakan dua pendekatan yang dapat didefinisikan dalam term pengetahuan dalam proses politik dan pengetahuan tentang proses politik, artinya a) Analisis kebijakan berkaitan dengan pengetahuan dalam, dan untuk, proses politik, dan; b) Analisis proses kebijakan berkaitan dengan pengetahuan tentang formasi dan implementasi kebijakan publik.

Sama halnya dengan adanya berbagai definisi policy, maka definisi dan konsep kebijakan publik pun beragam.
1. Kesederhana kebijakan seringkali diartikan sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh pemegang kewenangan untuk memastikan tujuan-tujuan yang sudah dirumuskan dan disepakati oeh publik bisa tercapai. Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil semestinya benar-benar mampu mewujudkan seluruh hasrat kepentingan dan tujuan-tujuan publik tersebut secara optimal.

A. KEBIJAKAN SEBAGAI SUATU KEPUTUSAN
a. Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai ”is whatever governments choose to do or not to do”. Artinya, bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya dan kebijakan negara itu harus meliputi semua tindakan pemerintah. Jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan negara. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai dampak yang sama besar dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah .
b. George C. Edwards III dan Ira Sharkansky mengatakan bahwa kebijakan negara itu dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah .
c. James E. Anderson mengemukakan : Public policies are those policies developed by governmental bodies and officials . Menurut Anderson, implikasi dari konsep kebijakan public tersebut adalah :
1. kebijakan negara itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan.
2. kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.
3. Kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu.
4. Kebijakan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif – dalam arti : merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
5. Kebijakan pemerintah – setidak-tidaknya dalam arti yang positif – didasarkan atau selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa.
Konsep kebijaksanaan publik menurut David Easton sebagai berikut :
Alokasi nilai yang otoritatif untuk seluruh masyarakat akan tetapi hanya pemerintahlah yang dapat berbuat secara otoritatif untuk seluruh masyarakat, dan semuanya yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan adalah hasil-hasil dari alokasi nilai-nilai tersebut .

B. KEBIJAKAN SEBAGAI PROSES MANAJEMEN
Pemaknaan konsep kebijakan publik sebagai proses manajemen didasarkan pada adanya serangkaian fase kerja dari pejabat-pejabat publik. Dimana adanya proses dalam pembentukan kebijakan atau serangkaian aturan dan tindakan dalam membuat suatu kebijakan baik itu dimulai dari agenda setting sampai pada proses reformulasi kebijakan atau implementasi, pelaksanaan dari kebijakan tersebut. Dalam hal ini makna kebijakan publik sebagai proses manajement antara lain :
a. Randall B. Ripley menganjurkan agar kebijakan publik dilihat sebagai suatu proses dan melihat proses tersebut dalam suatu model sederhana untuk dapat memahami konstelasi antar aktor dan interaksi yang terjadi di dalamnya .
b. William Jenkin mengungkapkan kebijakan public sebagai : A set of interrelated decision taken by a political actor or a group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where those decision should, in principle, be within the power of those actors to achieve(hal 16). Kebijakan publik adalah sebuah rangkaian yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi dimana keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan daripada aktor tersebut .
c. Carl Friedrich, bahwa kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu .
d. John Erik Lane (1995) dalam Lele (1999) membagi wacana kebijakan publik ke dalam beberapa model pendekatan, yaitu (1) pendekatan demografik yang melihat adanya pengaruh lingkungan terhadap proses kebijakan. (2) model inkremental yang melihat formulasi kebijakan sebagai kombinasi variabel internal dan eksternal dengan tekanan pada perubahan gradual dari kondisi status quo. (3) model rasional (4) model garbage can dan (5) model collective choice aksentuasinya lebih diberikan pada proses atau mekanisme perumusan kebijakan .

C. KEBIJAKAN SEBAGAI INTERVENSI PEMERINTAH
Pemaknaan konsep kebijakan publik sebagai intervensi pemerintah menitikberatkan pada peran aktor di luar pemerintah dalam memecahkan suatu masalah, dalam hal ini pemerintah mengikutsertakan berbagai instrument/sumber daya di luar Negara/pemerintah. Sehingga tidak hanya pemerintah sajalah yang menjadi actor tunggal dan utama dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi persoalan-persoalan publik. Berikut ini makna dari konsep kebijakan publik yang termasuk dalam sudut pandang kebijakan sebagai intervensi pemerintah, antara lain :
a. Carl friedrich mengungkapkan kebijakan publik sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu , yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu.
b. Chandler & Plano (1982) dalam kamus “wajib” Ilmu Administrasi Negara, The Public Administration Dictionary, mengatakan bahwa: “Public Policy is strategic use of reseorces to alleviate national problems or governmental concerns”. Secara sederhana dapat diartikan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah publik atau pemerintah. Chandler & Plano lalu membedakannya atas empat bentu, yakni: regulatory, redistributive, distributive, dan constituent.
c. Robert Eyestone mendefinisikan kebijakan publik sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud kebijakan publik dapat mencakup banyak hal.
d. Konsep lain mengenai kebijakan publik sebagai intervensi pemerintah juga dikemukakan oleh Chandler and Plano (1988). Menurut mereka, Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.
e. Chaizi Nasucha (2004), mengatakan bahwa kebijakan publik adalah kwenangan pemerintah dalam pembuatan suatu kebijakan yang digunakan ke dalam perangkat peraturan hukum. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menyerap dinamika sosial dalam masyarakat, yang akan dijadikan acuan perumusan kebijakan agar tercipta hubungan sosial yang harmonis.

D. KEBIJAKAN SEBAGAI DEMOCRATIC GOVERNANCE
Pemaknaan konsep kebijakan public sebagai democratic governance menitikberatkan pada masalah pembuatan keputusan atau kebijakan dimana pemerintah/negara berinteraksi dengan masyarakat. Sehingga terjalin suatu relasi antara pemerintah dan masyarakat tersebut dalam mengatasi persoalan publik. Berikut ini definisi-definisi tentang konsep kebijakan public sebagai suatu democratic governance, antara lain :
Chief J. O Udoji (1981) :
1. Kebijakan publik sebagai suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.
2. Kebijakan Publik juga merupakan suatu tindakan atau pilihan yang dilakukan baik oleh lembaga pemerintahan maupun badan-badan lainnya untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.
Fauzi Ismail, dkk dalam bukunya menyatakan bahwa kebijakan publik adalah bentuk menyatu dari ruh negara, dan kebijakan publik adalah bentuk konkret dari proses persentuhan negara dengan rakyatnya. Kebijakan publik yang transparan dan partisipatif akan menghasilkan pemerintahan yang baik. Paradigma kebijakan publik yang kaku dan tidak responsif akan menghasilkan wajah negara yang kaku dan tidak responsif. Demikian pula sebaliknya, paradigma kebijakan publik yang luwes dan responsif akan menghasilkan wajah negara yang luwes dan responsif pula .

Contoh Kebijakan Publik
Contoh dari kebijakan publik yang melakukan sesuatu yaitu kebijakan menaikan harga BBM, kebijakan BLT, kebijakan tentang sunset policy dalam hal perpajakan, dan lain-lain. Sedangkan contoh kebijakan untuk tidak melakukan sesuatu yakni berdiam diri saat kapal perang malaysia masuk perairan kita, atau tidak ambil pusing atas kasus manohara pinot dan lain sebagainya.

Contoh Quasi Publik
Contoh-contoh Quasi Publik antara lain air bersih dari PDAM, jaringan telekomunikasi dari PT. Telkom Indonesia, armada pesawat komersil dari PT. Garuda Indonesia (Persero), dan lain-lain.

PASSENGER HANDLING

Passenger Handling adalah suatu pemberian pelayanan kepada penumpang dan bagasi/barang bawaannya selama di terminal bandara, baik keberangkatan maupun kedatangan.

Seperti halnya dengan 'handling' lain pada ground handling, passenger handling ini juga dibagi menjadi 3 bagian mendasar, yakni pre flight, in flight (biasanya disebut on boar services), dan post flight.

Pre flight services adalah pelayanan kepada penumpang (khususnya), cargo, mail, ramp, dan baggage di terminal keberangkatan kota asal (origin). Pelayanan ini mencakup check in dan boarding.

In Flight services adalah pelayanan kepada penumpang (khususnya) selama dalam masa penerbangan. Jenis pelayanan ini biasanya berdasarkan dokumen flight manifest, seperti meal on req dll. Bahkan, PT. Garuda Indonesia membuka pelayanan Immigration On Board u/ memudahkan penumpang dari/dan ke Jepang (Tokyo) terhadap pengurusan dokumen paspor dan visa. Pelayanan Immigration on Board ini termasuk ke dalam In Flight Services.

Post flight merupakan pelayanan kepada penumpang (khususnya), cargo, mail, ramp, dan baggage di terminal keberangkatan kota tujuan )destination). Pelayanan ini mencakup matching baggage caring by passenger dgn baggage claim tag, serta claim terhadap keterlambatan/kerusakan bagasi di counter Lost & Found.