Kamis, 18 Maret 2010

SISTEM PENGAWASAN PABEAN

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Definisi Pengawasan
Pengawasan dapat disebut juga sebagai evaluating appraising atau correcting. Pengertian dan konsep pengawasan sangat beragam.
Menurut Robert J. Mockler, pengawasan adalah usaha sistematik menetapkan standard pelaksanaan dengan tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standard, menentukan dan mengukur deviasi-deviasi dan mengambil tindakan koreksi yang menjamin bahwa semua sumber daya yang dimiliki telah digunakan dengan efektif dan effisien .
“Pengawasan” adalah segala yang berkaitan dengan proses penilikan, penjagaan serta pengarahan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, agar objek yang diawasi berjalan menurut semestinya.
Pengawasan adalah fungsi atau tugas dari pimpinan untuk mencocokan sampai di manakah program atau rencana yang telah ditetapkan dilaksanakan. Dengan pengawasan akan diketahui adanya kekurangan, hambatan-hambatan, kelemahan, kesalahan, dan kegagalan untuk kemudian dicari jalan mengatasinya.
Pengawasan adalah segenap kegiatan untuk meyakinkan dan menjamin bahwa tugas / pekerjaan telah dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, kebijaksanaan yang telah digariskan dan perintah (aturan) yang diberikan.
Menurut Winardi (2000, hal. 585), Pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan.
Menurut Basu Swasta (1996, hal. 216), Pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan.
Menurut Kadarman (2001, hal. 159), Pengawasan adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan.
Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengawasan merupakan hal penting dalam menjalankan suatu perencanaan. Dengan adanya pengawasan maka perencanaan yang diharapkan oleh manajemen dapat terpenuhi dan berjalan dengan baik.
Tanpa adanya pengawasan dari pihak manajer/atasan maka perencanaan yang telah ditetapkan akan sulit diterapkan oleh bawahan dengan baik. Sehingga tujuan yang diharapkan oleh perusahaan akan sulit terwujud.

2.2 Proses Dilakukannya Pengawasan
Dalam melakukan pengawasan, diperlukan serangkaian langkah-langkah, antara lain :
1. Pengawasan adalah usaha menetapkan standar, melakukan pemeriksaan hasil, pembandingan hasil dengan standar, penentuan penyimpangan dan tindakan perbaikan.
2. Apabila tak ada penyimpangan, dilakukan tindakan mempertahan-kan situasi (maintain the situation); apabila ada penyimpangan dilakukan maka digunakan manajemen pengecualian dengan tindakan perbaikan bila penyimpangan adalah masalah dan tindakan mengambil kesempatan yang terbuka bila situasi yang dihadapi memberikan kesempatan.
3. Pengawasan dapat intern (disiplin diri dan latihan tanggung jawab) dan ekstern (pengawasan prakegiatan, pengarahan, ya/tidak dan pasca-kegiatan).
4. Pengawasan bertalian erat dengan perencanaan pengorganisasian, pengarahan dan pengkoordinasian.
5. Pengawasan perlu agar kita dapat menanggulangi kesulitan yang timbul karena adanya perubahan, kekompleksan sistem, kesalahan, dan delegasi.
6. Hal yang penting dalam pengawasan adalah keseimbangan antara kebebasan individual dengan pengawasan organisatoris.
2.3 Tujuan Pengawasan
Pengawasan menjadi sangat penting dilakukan bagi sebuah organisasi. Hal ini terkait dengan tujuan dilakukannya pengawasan dalam suatu organisasi. Yaitu :
1. Menjamin ketepatan pelaksanaan sesuai rencana, kebijaksanaan dan perintah (aturan yang berlaku)
2. Menertibkan kordinasi kegiatan. Kalau pelaksana pengawasan banyak , jangan ada objek pengawasan dilakukan berulang-ulang , sebaliknya ada objek yang tak pernah tersentuh pengawasan.
3. Mencegah pemborosan dan penyimpangan. Karena pengawasan mempunyai prinsip untuk melindungi masyarakat, maka pemborosan dana yang ditanggung masyarakat harus dicegah oleh penyimpangan yang dilakukan pihak kedua. Misalnya harga obat nama dagang yang sepuluh kali obat nama obat generic dengan komposisi dan kualitas yang sama ,pada hal yang berbeda hanya promosinya saja , maka wajarkah biaya promosi yang demikian besar dan cara-cara demikian perlu dipertahankan sebagai prinsip pengawasan yang melindungi masyarakat.
4. Menjamin terwujudnya kepuasan masyarakat atas barang dan jasa yang dihasilkan. Tujuan akhir suatu pekerjaan yang professional adalah terciptanya kepuasan masyarakat ( konsumen ), Masyarakat puas akan datang kembali dan mengajak teman-teman nya , sehingga meningkatkan produksi / penjualan yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan perusahaan.
5. Membina kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan organisasi. Jika barang atau jasa yang dihasilkan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat, maka masyarakat tidak saja percaya pada pemberi jasa, tapi juga pada institusi yang memberikan perlindungan pada masyarakat dan akhirnya percaya pula pada kepemimpinan organisasi.

2.4 Macam-macam dan Bentuk-bentuk Pengawasan
Berdasarkan teknik atau cara pengawasan, pengawasan dibagi menjadi dua, yaitu : pertama, pengawasan secara langsung. Artinya, pengawasan yang dilakukan sendiri oleh pimpinan. Dalam hal ini pimpinan langsung datang dan memeriksa kegiatan yang sedang dijalankan oleh bawahan. Pengawasan cara ini juga disebut observasi sendiri. Kedua, pengawasan secara tidak langsung yang berarti dilaksanakan lewat pembuatan laporan baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Ada dua macam/jenis laporan: pertama laporan yang dibuat untuk menjelaskan kemajuan dari sebagaian atau seluruh bidang kegiatan yang biasa disebut progress report, dan kedua laporan yang menyangkut keadaan dari suatu bidang tertentu: keuangan, perlengkapan, kekayaan, dan sebagainya.
Berdasarkan bidang atau objek yang diawasi, pengawasan dapat dibedakan menjadi empat bidang, yakni : (1.) Pengawasan terhadap penggunaan keuangan, (2.) Pengawasan terhadap mutu dan jumlah produksi atau hasil kerja, (3.) Pengawasan terhadap efisiensi waktu kerja, dan (4.) Pengawasan terhadap personal atau petugas.
Berdasarkan orang yang menjalankan pengawasan, dikenal: (1.) Pengawasan internal, (2.) Pengawasan eksternal, (3.) Pengawasan langsung, (4.) Pengawasan tidak langsung, (5.) Pengawasan formal, (6.) Pengawasan informal (social control).
Berdasarkan waktu pengawasan itu dilakukan, pengawasan dibedakan menjadi :
1. Pengawasan preventif, yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi atau untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
2. Pengawasan represif, yaitu pengawasan yang dilakukan setelah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, dengan tujuan untuk mencegah terulangnya kembali kejadian yang sama.
Sedangkan bentuk-bentuk pengawasan antara lain :
1. Pengawasan Pendahuluan. Pengawasan bentuk ini dirancang untuk mengantisipasi penyimpangan standard dan memungkinkan koreksi dibuat sebelum kegiatan terselesaikan. Pengawasan ini akan efektif bila manajer dapat menemukan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang perubahan yang terjadi atau perkembangan tujuan.
2. Pengawasan Concurrent, yaitu pengawasan ”Ya-Tidak”, dimana suatu aspek dari prosedur harus memenuhi syarat yang ditentukan sebelum kegiatan dilakukan guna menjamin ketepatan pelaksanaan kegiatan.
3. Pengawasan Umpan Balik, yaitu mengukur hasil suatu kegiatan yang telah dilaksanakan, guna mengukur penyimpangan yang mungkin terjadi atau tidak sesuai dengan standard.

2.5 Pengawasan Pabean
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeaan, kepabeaan di definisikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean dan pemungutan bea masuk. Sementara itu, daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu seperti zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang No. 17 Tahun 2006.
Menurut Colin Vassarotti, tujuan pengawasan Pabean adalah memastikan semua pergerakan barang, kapal, pesawat terbang, kendaraan dan orang-orang yang melintas perbatasan Negara berjalan dalam kerangka hukum, peraturan dan prosedur pabean yang ditetapkan (lihat Colin Vassarotti, “Risk Management – A Customs Prespective”, hal.19). Untuk menjaga dan memastikan agar semua barang, kapal dan orang yang keluar/masuk dari dan ke suatu negara mematuhi semua ketentuan kepabeanan.
Berdasarkan definisi di atas, maka sangat jelas bahwa bea cukai atau pabean mempunyai fungsi utama sebagai pengawas aktif terhadap keluar-masuknya barang-barang dalam daerah pabean dan sekaligus pula sebagai pemungut pajak terhadap barang-barang tersebut, di mana pemungutan pajak tersebut merupakan pemasukan bagi kas negara yang sangat berarti untuk pembiayaan pembangunan nasional.
Setiap administrasi pabean harus melakukan kegiatan pengawasan. Kegiatan pengawasan pabean meliputi seluruh pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh petugas pabean dalam perundang-undangannya yaitu memeriksa kapal, barang, penumpang, dokumen, pembukuan, melakukan penyitaan, penangkapan, penyegelan, dan lain-lain.
Dalam modul pencegahan pelanggaran kepabeanan yang dibuat oleh World Customs Organization (WCO) disebutkan bahwa pengawasan pabean adalah salah satu metode untuk mencegah dan mendeteksi pelanggaran kepabeanan. Berdasarkan modul WCO tersebut dinyatakan bahwa pengawasan Bea Cukai yang mampu mendukung pendeteksian dan pencegahan penyelundupan paling tidak harus mencakup kegiatan : penelitian dokumen, pemeriksaan fisik, dan audit pasca impor. Di samping tiga kegiatan itu menurut hemat penulis patroli juga merupakan pengawasan Bea Cukai untuk mencegah penyelundupan.
Jika kita lihat uraian tugas dan fungsi Kantor Pelayanan Bea dan Cukai tidak nampak adanya fungsi pencegahan pelanggaran, penindakan dan penyidikan tetapi kalau dilihat pada fungsi seksi-seksi di dalamnya nampak ada fungsi patroli, pemeriksaan kapal, periksaaan barang, pemeriksaan badan, penelitian dokumen dan sebagainya yang merupakan kegiatan pengawasan (Customs Control) menurut terminologi WCO.
Apabila kita meninjau dari kegiatan kepabeanan mulai dari saat kedatangan kapal atau penumpang, pembongkaran barang, pemeriksaan dokumen, pemeriksaan barang atau penumpang, nampaklah bahwa fungsi-fungsi yang dimiliki seksi-seksi di dalam Kantor Pelayanan telah dapat melaksanakan sebagian fungsi pengawasan. Petugas Kantor Pelayanan berwenang melakukan pengawasan pembongkaran, penelitian dokumen, pemeriksaan barang dan pemeriksaan penumpang. Yang tidak dapat dilaksanakan hanyalah kegiatan audit pasca impor, penindakan dan penyidikan karena ketiga kegiatan ini tidak tercantum dalam uraian tugas dan fungsi Kantor Pelayanan maupun seksi-seksi di dalamnya.
Kegiatan penindakan dan penyidikan sebenarnya merupakan tindak lanjut dari pengawasan pabean. Pengawasan pabean yang dilakukan melalui penelitian dokumen, pemeriksaan fisik, audit pasca-impor, maupun patroli jika menemukan adanya pelanggaran atau tindak pidana akan ditindaklanjuti dengan penindakan atau bahkan penyidikan. Penelitian dokumen atau audit yang menemukan dokumen palsu akan segera ditindaklanjuti dengan penyidikan. Demikian juga apabila dalam pemeriksaan fisik ditemukan barang terlarang akan ditindaklanjuti dengan penyidikan.
Jika petugas Bea Cukai di Kantor Pelayanan tidak mempunyai wewenang melakukan penindakan akan timbul masalah apabila dalam tugasnya ia menemukan pelanggaran misalnya menemukan adanya pembawa uang rupiah dalam jumlah lebih dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Petugas Bea Cukai yang menemukan pelanggaran akan melakukan penegahan atau penyegelan, tetapi kalau tidak mempunyai wewenang untuk itu akan menimbulkan keadaan vakum menunggu petugas dari Kantor Wilayah.
Kegiatan Bea cukai merupakan satu mata rantai yang tidak terputus mulai dari kedatangan kapal, penyerahan pemberitahuan, penelitian dokumen, pemeriksaan barang sampai dengan pengeluaran barang. Demikian pula apabila petugas menemukan pelanggaran pada pemeriksaan barang harus ditindaklanjuti dengan penindakan atau penyidikan. Jika ada petugas yang menemukan narkotika dalam koper penumpang harus segera ditindaklanjuti dengan penyidikan. Jika wewenang penyidikan hanya diberikan kepada Kantor Wilayah akan menyebabkan terhambatnya proses penyidikan.
Memberikan wewenang pemeriksaan terhadap petugas Kantor Pelayanan tetapi tidak memberikan wewenang tindak lanjut berupa penindakan atau penyidikan seperti membuat segmentasi atau pengkotak-kotakan tugas yang akan menghambat pelaksanaan tugas dan fungsi Bea Cukai. Meskipun dalam tugas dan fungsi Kantor Pelayanan tidak disebutkan secara tersurat adanya wewenang penindakan dan penyidikan bahkan unit kerja penindakan dan penyidikan juga tidak ada namun kedua kegiatan ini harus tetap dapat dilaksanakan di situ karena merupakan tindak lanjut dari pemeriksaan barang.
Di kantor-kantor pelayanan saat ini terdapat juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berwenang melakukan penyidikan. Kalau mereka tidak difungsikan karena fungsi penyidikan tidak ada dalam struktur organisasi Kantor Pelayanan akan menimbulkan kesulitan kalau terjadi tindak pidana dan harus mendatangkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari Kantor Wilayah.
Dalam Undang-Undang Kepabeanan diatur wewenang Pejabat Bea dan Cukai mulai dari pasal 74 sampai dengan pasal 92 yang antara lain berisi wewenang penindakan dan pasal 112 tentang wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bea dan Cukai. Jika wewenang-wewenang itu tidak dapat dijalankan oleh petugas Kantor Pelayanan akan menyebabkan hambatan dalam tugas pokok Bea dan Cukai.
Pada Kantor Pelayanan terdapat seksi Kepabeanan yang menyelenggarakan fungsi pemeriksaan barang, mengoperasikan X-Ray, pemeriksaan badan, menetapkan klasifikasi barang, tarif bea masuk dan nilai pabean, penelitian kebenaran, penghitungan bea masuk. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi pengawasan pabean, meskipun nama unit kerjanya bukan Seksi Pengawasan, Seksi Operasi, atau Seksi Pemberantasan Penyelundupan. Tugas yang dilakukan Seksi Kepabeanan yaitu pemeriksaan barang, pemeriksaan badan, penelitian tarif bea masuk dan nilai pabean pada hakekatnya adalah pengawasan dalam pengertian manajemen yaitu upaya menjaga agar semua kegiatan dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Petugas Bea dan Cukai di Kantor Pelayanan memeriksa barang, mencocokkan apakah semua barang yang diimpor telah diberitahukan dengan benar atau apakah tarif dan harganya telah diberitahukan dengan benar. Benar di sini adalah sesuai dengan undang-undang atau peraturan yang berlaku mengenai pemberitahuan impor. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh petugas Bea dan Cukai di Kantor Pelayanan ini tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional.
Aparat pengawasan seperti Inspektorat Jenderal atau Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam melaksanakan tugasnya akan mencocokkan apakah peraturan yang berlaku telah dilaksanakan oleh petugas di lapangan. Dipandang dari sudut ini apa yang dilakukan oleh petugas Inspektorat Jenderal atau Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sama saja dengan petugas pemeriksa barang atau dokumen di Kantor Pelayanan.
2.6 Organisasi dan Tatakerja
Dalam struktur organisasi, kedudukan pebaean atau bea cukai berada di bawah Departemen Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi di bidang kepabeanan dan cukai.
Dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 32/KMK.01/1998 tanggal 4 Pebruari 1998 disebutkan bahwa salah satu fungsi Kantor Wilayah adalah pelaksanaan intelijen, patroli dan operasi pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan, penindakan dan penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai, serta pengawasan barang hasil penindakan dan barang bukti. Dalam organisasi dan Tatakerja Ditjen Bea dan Cukai yang lama menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 759/KMK.01/1993 tanggal 3 Agustus 1993 untuk bidang kegiatan pencegahan dan penyidikan hanya disebutkan adanya fungsi koordinasi dan pengendalian pelaksanaan kegiatan pencegahan dan penyidikan atas pelanggaran peraturan perundang-undangan pabean dan cukai serta peraturan perundang-undangan lain yang pelaksanaanya dibebankan kepada Direktorat Jenderal. Perbedaannya adalah bahwa sekarang Kantor Wilayah menyelenggarakan fungsi pelaksanaan intelijen, patroli dan operasi pencegahan sedangkan pada operasi lama Kantor Wilayah hanya menyelenggarakan fungsi koordinasi dan pengendalian pelaksanaan kegiatan pencegahan dan penyidikan.
Sebaliknya pada organisasi yang baru Kantor Pelayanan tidak mempunyai fungsi pelaksanaan intelijen, patroli dan operasi pencegahan pelanggaran seperti pada kantor Inspeksi dalam organisasi dan tatakerja yang lama. Pada organisasi yang lama sering dikatakan bahwa Kantor Wilayah tidak operasional karena tugasnya adalah koordinasi dan pengendalian. Memang benar pada waktu itu Kantor Wilayah tidak operasional dalam pengertian day-to-day-operations seperti memungut bea masuk dan memeriksa barang impor namun sebagai kantor yang melakukan pengendalian tidak tertutup kemungkinan melakukan intervensi ke Kantor Inspeksi sewaktu-waktu apabila dianggap perlu oleh Kepala Kantor wilayah.
Hal ini berdasarkan wewenang Kepala Kantor Wilayah sebagai atasan langsung Kepala Kantor Inspeksi untuk melakukan pengawasan melekat. Kepala Kantor Wilayah dapat menunjuk pegawai-pegawai di Kantor Wilayah untuk melakukan pemeriksaan barang di Kantor Inspeksi apabila ia menganggap terjadi penyimpangan terhadap undang-undang atau peraturan yang berlaku karena kolusi di kantor tersebut. Kepala Kantor Wilayah yang sudah memberikan informasi untuk ditindaklanjuti tetapi tidak menghasilkan temuan oleh Kantor Inspeksi tentu akan mengirim sendiri petugas-petugas di Kantor Wilayah untuk langsung mengadakan pemeriksaan.
Jika kita berpegang pada definisi pengawasan adalah kegiatan untuk mencegah penyimpangan yang terjadi maka dikirimkannya petugas Kantor Wilayah untuk memeriksa barang di Kantor Inspeksi itu merupakan konsekuensi logis bagi atasan yang wajib mengawasi bawahan karena Kantor Inspeksi dianggap sudah tidak mampu lagi melakukan tugas pengawasan. Tugas dan peranan tim yang dikirim ke Kantor Inspeksi sama saja dengan aparat pengawasan fungsional seperti Inspektorat Jenderal atau BPKP yang memeriksa kegiatan suatu kantor. Perbedaanya di sini adalah tim yang dikirim oleh Kanwil atau Kantor Pusat mencakup aspek pencegahan misalnya mencegat kapal yang sedang dalam perjalanan sedangkan tim pengawasan fungsional Itjen atau BPKP biasanya memeriksa kegiatan yang sudah lewat.
Dalam organisasi yang lama, baik Kantor Wilayah yang berfungsi koordinasi dan pengendalian maupun Kantor Pusat yang fungsinya adalah perumusan kebijaksanaan, pembinaan atau pengendalian di bidang pencegahan, patroli, dan penyidikan tetapi karena mempunyai fungsi pengawasan melekat terhadap kinerja Kantor Inspeksi dapat mengirimkan tim untuk pencegahan di Kantor Inspeksi bawahannya. Pengiriman tim ini sifatnya sewaktu-waktu jika dipandang perlu dan merupakan supervisi dari atasan kepada bawahan. Bentuk pengawasan ini tidak bersifat day-to-day-operations karena tempat kedudukan Kantor Pusat dan Kantor wilayah tidak berada di pelabuhan dimana barang impor diproses.
Dengan struktur organisasi yang baru, kita mencoba memisahkan kegiatan pelayanan dan pengawasan dimana tugas pelayanan dilakukan di Kantor Pelayanan dan tugas pengawasan dilakukan oleh Kantor Wilayah. Dalam uraian tugas dan fungsi Kantor Pelayanan tidak disebutkan adanya fungsi pencegahan, penindakan, penyidikan, verifikasi, dan audit. Tugas dan fungsi tersebut dilaksanakan oleh Kantor Wilayah.
Struktur organisasi yang baru ini mengacu kepada organisasi Direktorat Jenderal Pajak yang memisahkan antara Kantor Pelayanan dan Kantor Pemeriksaan. Untuk Direktorat Jenderal Pajak, pemisahan ini tidak menimbulkan masalah karena sifat pemeriksaan di situ dilakukan terhadap proses yang sudah selesai. Pemeriksaan pajak yang dilakukan pada tahun ini sasarannya adalah pembukuan dan pajak tahun lalu jadi tidak mengandung aspek pencegahan. Bentuk pengawasan ini sama dengan fungsi audit yang dilakukan oleh Kantor Pusat atau Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang sasarannya adalah pembukuan untuk tahun yang lalu.
Kendala yang mungkin muncul dalam pelaksanaan struktur organisasi baru ini adalah karena pelayanan dan pengawasan dalam tugas Bea dan Cukai itu sulit dipisahkan. Hal ini disebabkan karena tugas Bea dan Cukai mengandung aspek pencegahan. Bea dan Cukai mempunyai fungsi patroli untuk mencegah pelanggaran tetapi instansi pajak tidak memiliki fungsi ini. Pemeriksaan barang di pelabuhan adalah upaya pencegahan (preventif) agar tidak terjadi pelanggaran, demikian pula penelitian dokumen sebelum barang diizinkan keluar dari pelabuhan.
Petugas Bea dan Cukai di Kantor Pelayanan yang melakukan penelitian dokumen berarti memberikan pelayanan kepada masyarakat tetapi penelitian dokumen itu juga sekaligus suatu pengawasan pabean (Customs Control). Penelitian dokumen ini dapat saja menghasilkan temuan yang harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan fisik yang merupakan kegiatan pencegahan. Petugas seksi kepabeanan yang melakukan pemeriksaan bagasi kemungkinan menemukan narkotika atau psikotropika yang harus ditindaklanjuti dengan penengahan. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa pelayanan Bea dan Cukai terkait dengan tugas pengawasan.
Dalam organisasi yang baru tugas pencegahan, penindakan dan penyidikan ini harus dilaksanakan terutama oleh Kantor Wilayah. Hal ini nampak dari adanya fungsi pelaksanaan intelejen, patroli, dan operasi pencegahan pelanggaran, penindakan, serta penyidikan yang tidak dimiliki oleh Kantor Pelayanan. Bidang Pencegahan dan Penyidikan pada Kantor Wilayah diharapkan dapat melakukan day-to-day-opretions (terus-menerus) dalam bidang pencegahan penindakan dan penyidikan.
Bidang Pencegahan dan Penyidikan bertugas melakukan kegiatan intelijen mulai dari pengumpulan informasi, pengolahan, dan pengambilan keputusan untuk melakukan pemeriksaan, pencegahan, penindakan ataupun penyidikan. Apabila kita melihat lingkup tugas Bea dan Cukai sebenarnya informasi terbanyak yang digunakan untuk pengawasan pabean adalah informasi yang ada di Kantor Pelayanan. Informasi yang umumnya dipakai untuk kegiatan pengawasan berada di dalam dokumen Airway Bill (AWB), Bill of Lading (B/L), manifest, Pemberitahuan Impor Barang (PIB), Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Invoice, Polis Asuransi, Certificate of Origin, Letter of Credit (L/C), profit importir, data pemeriksaan kapal, data kapal, data Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan, dan sebagainya yang berada di Kantor Pelayanan karena data tersebut berada dalam dokumen-dokumen yang harus diserahkan kepada Bea dan Cukai dalam rangka pelayanan.
Sebaliknya data tersebut sulit diperoleh di Kantor Wilayah karena Kantor Wilayah tidak melakukan pelayanan impor dan ekspor. Kantor Wilayah hanya bisa memperoleh data tersebut apabila dikirim ke Kantor Pelayanan. Untuk bisa melakukan pengawasan Kantor Wilayah harus mempunyai informasi yang cukup, sedangkan informasi yang diperlukan ini justru berada di Kantor Pelayanan.
Sebenarnya Kantor Pelayanan adalah institusi yang paling efektif untuk mendeteksi dan mencegah adanya pelanggaran atau penyelundupan karena menguasai informasi yang banyak. Informasi tentang muatan kapal, jumlah, dan jenisnya, importir dan eksportir semua ada pada Kantor Pelayanan. Petugas Kantor Pelayanan juga melihat dan mengawasi langsung penimbunan atau pemuatan dan dapat mendeteksi adanya kejanggalan yang merupakan indikator adanya pelanggaran. Hal-hal seperti ini hanya dapat dilakukan oleh Kantor Wilayah jika informasi tentang muatan kapal dan barang impor/ekspor dapat ditransfer secara elektronik dari Kantor Pelayanan ke Kantor Wilayah.
Namun informasi yang diperoleh dari pengolahan dokumen ini juga tidak cukup untuk dapat melakukan pengawasan dengan efektif. Masih diperlukan adanya informasi dari lapangan secara terus menerus mulai dari kapal datang, saat pembongkaran, saat penimbunan, dan seterusnya. Ini berarti Kantor Wilayah harus menempatkan orang di pelabuhan secara terus-menerus sesuai dengan hakikat day–to-day-operations. Jika Kantor Wilayah berada pada satu kota dengan Kantor Pelayanan, kegiatan ini dapat dilaksanakan tetapi jika Kantor Wilayah tidak berada dalam satu kota dengan Kantor Pelayanan, day-today-operations tidak dapat dijalankan karena biayanya sangat besar. Diperlukan banyak pegawai dan dana perjalanan dinas yang cukup besar untuk melaksanakan hal ini.
Informasi yang mungkin diperoleh di Kantor Wilayah hanyalah informasi yang berasal dari informan atau laporan masyarakat tentang pengimporan suatu party barang yang merugikan negara. Mengenai hal inipun sebenarnya yang menguasai detail dari informasinya juga petugas-petugas Kantor Pelayanan karena mereka mengetahui semua kegiatan Impor yang ada di situ dan paling mengetahui kalau ada kejanggalan/penyimpangan yang terjadi.
Informasi dari masyarakat itu biasanya menyangkut kolusi antara petugas dan pengusaha yang kemudian ditindaklanjuti oleh Kantor Wilayah dengan menurunkan tim untuk mengusut. Tim inipun hanya bisa bekerja kalau mempunyai informasi yang cukup tentang pengimporan barang. Informasi tentang kegiatan impor ini tersedia di Kantor Pelayanan dan sebenarnya petugas-petugas di Kantor Pelayanan yang lebih mengetahui permasalahannya dibandingkan dengan petugas yang dikirim dari Kantor Wilayah. Jika party barang yang diinformasikan itu belum tiba di pelabuhan tindakan pencegahan dapat dilakukan tetapi pencegahan ini kadang-kadang tidak menghasilkan tangkapan misalnya karena pengimporan dibatalkan, barang tidak jadi dibongkar atau diperbaiki dari semua ketentuan dipenuhi. Memang tidak semua penegakkan hukum menghasilkan tangkapan tetapi apabila pelaku pelanggaran mengurungkan niatnya saja sudah merupakan keberhasilan dari penegakan hukum sebab semua aturan telah dipenuhi dan tidak terjadi pelanggaran.
Informasi tentang penyelundupan narkotik dari Drugs Enforcement Administration (DEA) saja kemungkinan tidak menghasilkan tangkapan kalau pelakunya membatalkan diri. Dari seluruh kegiatan pengawasan pabean hanyalah audit pasca-impor yang dapat dilaksanakan dengan efektif oleh Kantor Wilayah karena audit tidak bersifat mencegah pelanggaran yang akan terjadi, tetapi memeriksa kegiatan yang sudah selesai. Meskipun demikian audit dapat mempunyai efek pencegahan apabila dikenakan hukuman yang berat dalam hal ditemukan penyimpangan. Hukuman atau sanksi yang diberikan diharapkan membuat jera pelakunya sehingga dikemudian hari tidak melakukan pelanggaran lagi.
Jika dilihat dari banyaknya importir/eksportir yang melakukan kegiatan tentunya tidak seluruh perusahaan diaudit. Untuk menyeleksi perusahaan mana yang perlu dilakukan audit juga diperlukan informasi dan informasi yang diperlukan ini tersedia di Kantor Pelayanan. Sebab itu jika tidak ada transfer informasi dari Kantor Pelayanan ke Kantor Wilayah akan sulit bagi Kantor Wilayah menentukan sasaran audit. Bagi administrasi pabean di negara-negara maju yang sudah melaksanakan komputerusasi penuh tidak ada masalah dalam mengakses informasi oleh Kantor Pusat maupun Kantor Wilayah. Pangkalan data di Kantor Pusat maupun di Kantor Wilayah setiap saat dapat berhubungan (on line) dengan pangkalan data di Kantor Pelayanan. Mereka secara terus menerus dapat memantau kegiatan impor/ekspor yang terjadi di seluruh Kantor Pelayanan dengan perkembangannya tiap detik.
Bidang Pencegahan dan Penyidikan (P2) dan Bidang Audit yang menjalankan fungsi pengawasan sangat memerlukan informasi tentang impor/ekspor untuk dapat melakukan pencegahan atau mengadakan audit sebab sistem pemeriksaan kita sesuai Undang-Undang Kepabeanan bersifat selektif. Audit mau tidak mau juga harus dilakukan secara selektif karena jumlah perusahaan sangat banyak sedang jumlah auditor terbatas. Untuk menyeleksi kita harus melalui proses risk assesment yang memerlukan banyak informasi dan informasi ini berasal dari data impor di Kantor Pelayanan.
Sebaiknya kita memahami pemisahan antara fungsi pengawasan pada Kantor Wilayah dan fungsi pelayanan pada Kantor Pelayanan ini hanya pada tataran filosofi saja dan jangan memisah-misahkan kegiatan ini secara nyata. Kantor Pelayanan harus tetap berfungsi pengawasan meskipun petugas-petugasnya harus lebih berorientasi melayani masyarakat.
Pada tahun 1990, World Customs Organization (WCO) mengganti logonya dengan gambar yang melambangkan dua tangan terbuka yang bermakna kerjasama atau keterbukaan sedangkan logo yang lama bergambar mata sebagai simbol pengawasan.
Perubahan logo ini juga menandakan adanya perubahan orientasi yang semula Bea Cukai kerjanya mengintip orang atau mencari kesalahan sekarang berubah menjadi instansi yang membantu atau melayani orang. Perubahan ini tidak berarti bahwa Bea Cukai kehilangan fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan Bea Cukai tetap di jalankan tetapi aspek pelayanannya yang lebih di tonjolkan. Menurut hemat penulis pergeseran fungsi pengawasan ke Kantor Wilayah seharusnya di pahami berdasarkan pemikiran ini. Kantor Pelayanan harus tetap dapat menjalankan fungsi pengawasan meskipun titik beratnya adalah pelayanan.
Fungsi pengawasan di Kantor Pelayanan saat ini sebagian dilaksanakan oleh Seksi Kepabeanan yang melakukan kegiatan pemeriksaan dokumen, pemeriksaan barang, pemeriksaan penumpang, dan Seksi Manifest dan Informasi yang melakukan patroli dan pemeriksaan sarana pengangkut.

2.7 Fungsi dan Tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
1. Melindungi masyarakat
2. Meelindungi industri dalam negeri
3. Kontribusi penerimaan APBN
4. Pemberantasan penyelundupan
5. Melaksanakan aturan instansi-instansi lain
2.8 Pabean di Bandar Udara
Tugas dan tujuan pabean di badara atau pelabuhan laut adalah memungut pajak-pajak untuk kepentingan negara. Hal ini mengacu kepada UU RI No. 17/2006 tentang Kepabeanan dan Buku Tarif Bea Masuk Indonesia Tahun 2007.
Pengawasan penting yag dilakukan oleh para petugas di pabean adalah pengawasan terhadap barang-barang impor dan ekspor. Pelanggaran yang biasanya terjadi adalah kesalahan menentukan tarif, untuk suatu jenis barang yang disebabkan oleh laporan yang tidak benar dari si pemilik barang. Biasanya para petugas pabean di bandara sering menemukan kesulitan dalam menghadapi orang-orang yang belum mengerti soal pabean seperti TKW/TKI dan orang-orang yang berusaha menyelundupkan sesuatu.
Di bandara, terdapat jalur khusus untuk barang-barang, yaitu Jalur Merah (Red Channel), Jalur Hijau (Green Channel), dan Jalur Kuning (Yellow Channel). Jalur merah digunakan untuk penumpang dan/atau cargo yang harus dilaporkan untuk diperiksa dan ditentukan nilai pabeannya. Jalur hijau diperuntukan bagi penumpang dan/atau cargo yang tidak harus dilaporkan atau “merasa” tidak membawa barang-barang terlarang yang harus dilaporkan kepada pabean, sedangkan untuk cargo adalah barang yang tidak diperiksa isi kemasannya. Biasanya pada jalur hijau tidak dilakukan pemeriksaan. Namun, kalau petugas pabean mencurigai barang-barang tertentu, mereka akan memeriksanya. Jika ternyata ada barang yang terkena larangan dan pembatasan, maka akan dikenakan bea masuk menurut aturan yang berlaku. Sementara itu, jalur kuning adalah jalur prioritas, yaitu jalur yang diperuntukan bagi importer yang mendapat kemudahan pabean.

2.9 Barang Ekspor dan Impor
Yang dimaksud dengan barang ekspor adalah barang yang telah dimuat atau akan dimuat di sarana pengangkut untuk dikeluarkan diluar daerah pabean. Barang-barang yang diekspor harus melewati pemeriksaan dokumen (profiling document). Dalam rangka mendorong ekspor, kerap kali pemeriksaan fisik dilakukan seminimal mungkin sehingga yang dilakukan hanya penelitian terhadap dokumennya.
Barang impor adalah barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean, diperlakukan sebagai barang impor dan dikenakan bea masuk. Barang-barang impor harus melewati pemeriksaan pabean yang meliputi pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan barang secara fisik. Biasanya barang impor dikenai bea masuk dengan tarif setinggi-tingginya 40% dari nilai pabean untuk perhitungan bea masuk. Akan tetapi, ada banyak pengecualian mengenai tarif ini, bahkan ada barang-barang tertentu yang dibebaskan dari bea masuk.
Dalam kaitan ekspor-impor, tentu saja ada barang-barnag yang dibatasi dan/atau dilarang untuk diimpor atau diekspor. Barang-barang yang dilarang untuk diekspor di antaranya barang-barang yang dilindungi supaya tidak punah, seperti burung cenderawasih, burung kaka tua raja, burung kaka tua hitam, burung kaka tua putih berjambul kuning, jalak putih, beberapa jenis anggrek, trenggiling, dan lain-lain.

2.10 Jenis-jenis Barang yang Diperiksa
1. Barang Penumpang (Passenger’s Goods)
Barang penumpang, baik melalui pesawat terbang maupun kapal laut mempunyai aturan-aturan tersendiri sebagai berikut:
a. barang yang dibawa oleh penumpang pesawat terbang/ kapal laut dalam satu kali perjalanan.
b. barang yang tiba dalam waktu tiga bulan sesudah kedatangan penumpang pesawat terbang/ kapal laut yang bersangkutan.
Pada dasarnya barang penumpang tersebut dapat digolongkan menjadi dua, yaitu (a) barang penumpang yang dibebaskan dari bea masuk dan pungutan impor lainnya, dan (b) barang penumpang yang dikenakan bea masuk dan pungutan impor lainnya.
A. Barang penumpang yang dibebaskan dari bea masuk dan pungutan impor lainnya antara lain :
a. Barang keperluan pribadi selama perjalanan yang dibeli di luar negeri, seperti baju, sepatu, jam tangan atau tas yang nilainya tidak melebihi FOB USD 250,- setiap penumpang atau maksimum FOB USD 1.000,- setiap keluarga ;
b. Rokok yang jumlahnya tidak melebihi 200 batang, atau cerutu yang jumlahnya tidak lebih dari 50 batang, atau tembakau iris yang jumlahnya tidak lebih dari 100 gram, dan minuman beralkohol yang jumlahnya tidak lebih dari satu liter bagi setiap orang dewasa ;
c. Kamera, video kamera, radio/tape recorder, teropong dan perlengkapan olahraga dalam jumlah wajar yang diperlukan oleh wisatawan asing selama di Indonesia.
B. Barang penumpang yang dikenakan bea masuk dan pungutan impor lainnya antara lain :
a. Nilai barang seorang penumpang FOB USD 750,- maka bea masuk dan pungutan impor lainnya dikenakan terhadap kelebihan nilai yang besarnya FOB USD 500,- itu (USD 750 dikurangi USD 250) ;
b. Nilai barang satu keluarga FOB USD 1.500 maka bea masuk dan pungutan impor lainnya dikenakan terhadap kelebihan nilai yang besarnya FOB USD 500,- (USD 1.500 dikurangi USD 1.000)
Hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan barang penumpang :
• Dilarang tanpa izin instansi yang berwenang membawa masuk ke wilayah pabean Indonesia barang-barang seperti narkotika, senjata api/pegas/angin, amunisi, pistol suar, bahan peledak, transceiver, telepon tanpa kabel, mesin fotokopi berwarna, benda/publikasi pornografi, cetakan berbahasa China, dan obat-obatan ;
• Membawa masuk film, pita video berisi rekaman, laser disk dan piringan hitam harus melalui sensor instansi yang berwenang ;
• Menghindari/menyembunyikan barang-barang pemeriksaan dan memberikan keterangan yang tidak benar kepada petugas bea cukai merupakan pelanggaran yang dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Barang-barang Pindahan (Removal Goods) dan Barang Kiriman
Barang pindahan adalah inventaris rumah tangga seperti perabotan rumah tangga, alat-alat dapur, buku-buku, piano, organ dan alat musik lainnya, televisi, radio/sound system, komputer pribadi, alat penyejuk udara, dan sebagainya yang lazin dimiliki oleh sebuah rumah tangga dan dibawa serta oleh pemiliknya pada saat kepindahannya dari luar negeri ke Indonesia.
Pemasukan barang-barang tersebut dapat dibebaskan dari bea masuk dan pungutan-pungutan impor lainnya sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan. Yang berhak memperoleh kemudahan pembebasan bea masuk dan pungutan impor lainnya atas barang pindahan adalah :
(a) Diplomat/pejabat negara/pegawai negeri sipil/TNI yang kembali ke Indonesia setelah masa dinasnya di luar negeri habis;
(b) WNI lain yang karena pekerjaannya bertempat tinggal di luar negeri dan kemudian pindah ke Indonesia;
(c) Pegawai negeri sipil/TNI yang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan tugas belajar di luar negeri;
(d) WNA yang karena pekerjaannya pindah ke Indonesia;
(e) Pembantu rumah tangga yang bekerja di perwakilan RI di luar negeri berdasarkan kontrak/perjanjian dengan Departemen Luar Negeri dan kemudian pindah kembali ke Indonesia.
3. Barang Kiriman (Consignments)
Barang kiriman adalah barang yang dikirim oleh seseorang/pengirim di luar negeri kepada seseorang/penerima di Indonesia dengan menggunakan jasa pos atau angkutan kapal atau pesawat terbang.
Barang kiriman dapat dikelompokan menjadi :
a. Barang kiriman yang dapat dibebaskan dari bea masuk dan pungutan impor lainnya. Contoh barang kririman yang nilainya tidak melebihi FOB USD 50,- untuk setiap kiririman; barang kiriman yang merupakan hadiah untuk tujuan kesejahteraan rohani, kepentingan kebudayaan, dan amal umum setelah mendapat izin dari Menteri Keuangan ;
b. Barang kiriman yang dikenakan bea masuk dan pungutan impor lainnya, yaitu apabila nilainya melebihi nilai yang ditentukan, misalnya nilai barang kiriman per parcel FOOB USD 150,- maka bea masuk dan pungutan impor lainnya akan dikenakan terhadap kelebihan nilai sebesar FOB USD 100,- (USD 150 dikurangi USD 50).
4. Pemasukan Sementara
‘Pemasukan Sementara’ sesuai dengan ketentuan impor berdasarkan Pasal 23 OB adalah pemasukan/impor atas barang-barang yang jelas dikeluarkan/diekspor kembali setelah selesai dipergunakan di dalam wilayah pabean Indonesia. Keuntungan dari fasilitas pemasukan sementara adalah pada saat memaskkan/mengimpor ke wilayah pabean Indonesia tidak dipungut bea masuk dan pungutan impor lainnya.
Adapun barang-barang yang mendapat fasilitas pemasukan sementara antara lain sebagai berikut.
a. Barang-barang yang dimasukkan/diimpor untuk pameran dan setelah pameran selesai seluruhnya dikeluarkan/diekspor lagi dari wilayah pabean Indonesia. Contoh : barang-barang untuk dipamerkan di Pekan Raya Jakarta atau di Jakarta Convention Center.
b. Barang-barang yang pada waktu pemasukannya sudah nyata akan dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia. Contoh :
- Mobil/kendarang yang dibawa oleh wisatawan
- Barang-barang yang diperlukan untuk menunjang pekerjaan suatu proyek
- Barang yang dibawa oleh tenaga ahli asing yang berkaitan dengan profesi.
5. Barang Wajib Cukai
a. Hasil tembakau, sesuai dengan Ordonansi Cukai Tembakau (OCT) Stbl. 1932 No,or 517. Contoh: sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek mesin (SKM), sigaret kretek tangan (SKT), rokok klobot (KLB), rokok klembak menyan (RKM), cerutu (CRT) dan tembakau iris (TIS). Yang dikenakan cukai adalah hasil tembakau impor. Besarnya tarif cukai tembakau berkisar antara 0,5% s.d. 37,5% dari harga eceran.
b. Gula, sesuai dengan Ordonansi Cukai Gula (OCG) Stbl. 1933 Nomor 351. Contoh gula tebu, gula bit, dan gula lainnya yang mempunyai susunan kimia sebagai gula tebu (sacharose), zat pemanis tiruan lainnya yang mempunyai daya pemanis lebih tinggi daripada gula tebu, antara lain sakarin dan sodium suklamat. Gula yang dikenai cukai yaitu gula buatan dalam negeri dan gula impor sebesar 4% untuk gula tebu dan 10% untuk pemanis tiruan dari harga dasar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
c. Bir, sesuai dengan Ordonansi Cukai Bir (OCB) Stbl. 1931 Nomor 488. Bir adalah minuman yang tidak disuling dibuat dari alkohol yang meragi. Bir yang terkena cukai adalah produksi dalam negeri dan besarnya tarif cukai bir adalah 50% dari harga dasar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
d. Alkohol sulingan, sesuai dengan Ordonansi Cukai Alkohol (OCAL) Stbl. 1898 Nomor 90. Yang dimaksud dengan alkohol sulingan adalah barang cair yang mengandung alkohol yang diperoleh dengan cara menyuling, yaitu alkohol sulingan murni, minuman yang mengandung alkohol sulingan, barang cair lain yang mengandung alkohol sulingan dengan kadar paling sedikit 5% yang dikonsumsi di Pulau Jawa dan Madura. Sementara itu, besarnya tarif cukai alkohol sulingan adalah 70% dari harga yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
e. Minyak tanah, sesuai dengan Ordonansi Cukai Minyak tanah (OCAM) Stbl. 1886 Nomor 249. Yang dimaksud dengan minyak tanah adalah kerosin, gasoline, dan hasil-hasil sulingan minyak tambang lainnya yang lebih cepat menguap daripada minyak tanah. Minyak tanah yang dikenai cukai adaah minyak tanah produksi dalam negeri dan minyak tanah impor sebesar 10% dari harga dasar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

2.11 Tipe pelanggaran dan Tersedianya Informasi
Pengawasan pabean adalah salah satu cara untuk mencegah dan mendeteksi adanya pelanggaran. Pengawasan yang efektif memungkinkan Bea dan Cukai mengurangi terjadinya pelanggaran.
Menurut WCO Hanbook for Comercial Fraud Investigators ada enambelas tipe pelanggaran utama di Bidang kepabeanan yaitu :
1. Penyelundupan. Yang dimaksud dengan penyelundupan disini adalah menimpor atau mengekspor di luar tempat kedudukan Bea dan Cukai atau mengimpor/mengekspor di tempat kedudukan Bea dan Cukai tetapi dengan cara menyembunyikan barang dalam alas atau dinding dinding palsu (concealment) atau di badan penumpang.
2. Uraian Barang Tidak Benar. Uraian Barang Tidak Benar dilakukan untuk memperoleh keuntungan dari bea masuk yang rendah atau menghindari peraturan larangan dan pembatasan.
3. Pelanggaran Nilai Barang. Dapat terjadi nilai barang sengaja dibuat lebih rendah untuk menghindari bea masuk atau sengaja dibuat lebih tinggi untuk memperoleh restitusi (draw-back) yang lebih besar.
4. Pelanggaran Negara Asal Barang. Memberitahukan negara asal barang dengan tidak benar misalkan negara asal Jepang diberitahukan Thailand dengan maksud memperoleh preferensi tarif di negara tujuan. 5. Pelanggaran Fasilitas Keringanan Bea Masuk Atas Barang Yang Diolah. Yaitu tidak mengekspor barang yang diolah dari bahan impor yang memperoleh keringanan bea masuk.
6. Pelanggaran Impor Sementara. Tidak mengekspor barang seperti dalam keadaan semula.
7. Pelanggaran Perizinan Impor/Ekspor. Misalnya memperoleh izin mengimpor bibit bawang putih ternyata dijual ke pasaran bebas sabagai barang komnsumsi.
8. Pelanggaran Transit Barang. Barang yang diberitahukan transit ternyata di impor untuk menghindari bea.
9. Pemberitahuan Jumlah Muatan Barang Tidak Benar. Tujuannya agar dapat membayar bea masuk lebih rendah atau untuk menghindari kuota. 10. Pelanggaran Tujuan Pemakaian. Misalnya memperoleh pembebasan bea masuk dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) tetapi dijual untuk pihak lain.
11. Pelanggaran Spesifikasi Barang Dan Perlindungan Konsumen. Pemberitahuan barang yang menyesatkan untuk menghindari persyaratan dalam Undang-Undang Spesifikasi Barang atau Perlindungan Konsumen.
12. Barang Melanggar Hak Atas Kekayaan Intelektual. Yaitu barang palsu atau bajakan yang diimpor disuatu negara atau diekspor dari suatu negara.
13. Transaksi Gelap. Transaksi yang tidak dicatat dalam pembukuan perusahaan untuk menyembunyikan kegiatan ilegal. Pelanggaran ini dapat diketahui dengan mengadakan audit ke perusahaan yang bersangkutan.
14. Pelanggaran Pengembalian Bea. Klaim palsu untuk memperoleh pengembalian bea/pajak dengan mengajukan dokumen ekspor yang tidak benar.
15. Usaha Fiktif. Usaha fiktif diciptakan untuk mendapatkan keringanan pajak secara tidak sah. Contohnya adalah perusahaan yang melakukan ekspor fiktif yang ternyata tidak mempunyai pabrik dan alamat kantornya tidak dapat ditemukan.
16. Likuidasi Palsu. Perusahaan beroperasi dalam periode singkat untuk meningkatkan pendapatan dengan cara tidak membayar pajak. Kalau pajak terhutang sudah menumpuk kemudian menyatakan bangkrut untuk menghindari pembayaran. Pemiliknya kemudian mendirikan perusahaan baru. Di Indonesia praktek ini dipakai oleh Importir yang sudah sering dikenakan tambah bayar supaya bisa memperoleh jalur hijau maka ia mendirikan perusahaan baru.
Dari berbagai tipe pelanggaran di atas sebagian besar adalah pengimporan atau pengeksporan di pelabuhan tempat pengawasan Bea dan Cukai. Untuk tipe pelanggaran ini informasinya lebih banyak dan lebih mudah diperoleh dari dokumen dokumen yang diajukan pada Bea dan Cukai Kantor Pelayanan, tetapi untuk penyelundupan yang terjadi di luar tempat kedudukan Bea dan Cukai informasinya harus dicari langsung di lapangan.
Informasi untuk penyelundupan di luar tempat kedudukan Bea dan Cukai diperoleh melalui Surveillance dapat dilakukan oleh petugas di Kantor Pelayanan kalau diberi wewenang untuk itu. Dalam organisasi dan tata kerja yang baru kegiatan intelijen (pengumpulan dan pengolahan informasi) secara umum tidak dimungkinkan di Kantor Pelayanan. Yang dimungkinkan hanya pengumpulan informasi muatan kapal yang tercantum pada manifest. Tetapi fungsi patroli ada juga di Kantor Pelayanan dan untuk melaksanakan kegiatan ini diperlukan pengumpulan informasi. Tanpa informasi yang diperoleh dengan baik, patroli tidak terarah dan tidak tahu daerah rawan yang beresiko tinggi. Mau tidak mau kegiatan Intelijen harus dilakukan juga di Kantor Pelayanan agar patroli berjalan efektif.
Kalau Intelijen (termasuk Surveillance) hanya dilakukan oleh petugas Kantor Wilayah tidak akan efektif dan tidak mungkin bisa meliputi seluruh wilayah karena terbatasnya jumlah petugas dan dana dibandingkan dengan luasnya wilayah. Secara teoritis bisa secara rutin dikirim satuan tugas Surveillance dari Kantor Wilayah untuk mengumpulkan dan mencari informasi ke seluruh wilayah tetapi secara teknis sulit kalau wilayahnya relatif luas. Akan lebih mudah kalau kegiatan intelijen juga dilakukan oleh Kantor Pelayanan karena mereka berada didekat sumber informasi.
Penyelundupan narkotika dan psikotropika yang melalui pelabuhan laut/udara ada yang informasinya diperoleh dari pihak luar negeri melalui Kantor Pusat dan ada yang dideteksi dengan Profiling ataupun penggunaan X-Ray scanner. Dilihat dari prosentasenya berdasarkan data yang tersedia lebih banyak tangkapan yang diperoleh dari Profilling dan deteksi X-Ray dibandingkan yang berasal dari informasi yang sudah matang. Berarti dalam hal inipun Kantor Pelayanan lebih banyak menguasai informasi dan melakukan deteksi melalui pengamatan mereka sendiri terhadap gerak-gerik penumpang.
Tipe pelanggaran pemberitahuan yang tidak benar, penyalahgunaan fasilitas Kepabeanan, pelanggaran perizinan impor dan sebagainya lebih mudah dideteksi melalui dokumen impor/ekspor yang berada di Kantor Pelayanan Informasi tentang adanya pelanggaran-pelanggaran tersebut bisa diperoleh jika kita mengolah informasi-informasi dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB), Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), manifest, Bill of Lading (B/L), Invoice, Packing List, data perusahaan, data kapal, data kontainer dan lain-lain. Informasi ini sebagian besar berada di Kantor Pelayanan dan dapat digunakan setiap saat.
Pada umumnya yang dianggap informasi bagi orang awam adalah pemberitahuan dari seseorang atau badan secara tertulis atau lisan bahwa akan terjadi penyelundupan yang dilakukan oleh seseorang. Informasi yang sudah matang ini di Bea Cukai lazim disebut hasil intelijen atau intelijen positif. Sebenarnya informasi tidak hanya sebatas yang sudah matang saja tetapi banyak informasi yang masih mentah berserakan disana-sini berada dalam dokumen Pabean maupun dokumen pelengkapnya, informasi ini kalau diolah juga akan menghasilkan informasi matang (intelijen positif) yang dapat digunakan mendeteksi penyelundupan atau pelanggaran Kepabeanan.

2.12 Barang-barang Bebas Pemeriksaan
Beberapa jenis barang dibebaskan dari pemeriksaan bea cukai, antara lain :
1. IATA Free Articles atau Personal Effects
2. Diplomatic Goods
3. Ketentuan lain oleh Pabean/ Bea Cukai.
Termasuk dibebaskan oleh bea cukai antara lain :
1. Pembebasan bea masuk dan pungutan impor :
a. Barang keperluan diri dan sisa bekal penumpang
b. Barang bawaan penumpang yang nilai pabeannya tidak melebihi FOB USD 250,- per orang
c. Barang bawaan awak sarana pengangkut senilai USD 50,-
d. Barang bawaan penumpang seperti kamera, video kamera, portable radio cassette recorder, teropong, perlengkapan olahraga, laptop, telepon genggam, atau perlengkapan lain yang sejenis
e. Barang bawaan penumpang penduduk Indonesia seperti tersebut dalam butir (d) yang telah dibawa ke luar negeri dan kemudian dibawa kembali ke Indonesia. Pada saat keberangkatannya ke luar negeri wajib mengisi formulir yang telah ditentukan.
2. Diberikan pembebasan bea masuk, pajak dalam rangka impor dan cukai terhadap penumpang atau awak sarana pengangkut yang membawa barang kena cukai dengan jumlah sebanyak-banyaknya :
a. 200 batang sigaret atau 50 batang cerutu atau 200 gram tembakau iris
b. 1 liter minuman mengandung etil alkohol, dan minyak wangi dalam jumlah wajar

Jumat, 05 Maret 2010

REVIEW

REVIEW
SELASA, 2 MARET 2010
- RELASI ANTARA ADMINISTRASI NEGARA, POLITIK, DAN KEBIJAKAN PUBLIK -


Berdasarkan teori yang dikemukakan Bromley dalam Tachjan (2006ii:17), kebijakan publik memiliki tiga tingkatan yang berbeda berdasarkan hierarki kebijakan, yaitu: policy level, organizational level, operational level.
Dalam suatu negara demokratis policy level diperankan oleh lembaga yudikatif dan legislatif, sedang organizational level diperankan oleh lembaga eksekutif. Selanjutnya operational level dilaksanakan oleh satuan pelaksana seperti kedinasan, kelembagaan atau kementerian. Pada masing-masing level, kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarkinya. Sementara pattern interaction adalah pola interaksi antara pelaksana kebijakan paling bawah (street level bureaucrat) dengan kelompok sasaran (target group) kebijakan yang menunjukkan pola pelaksanaan kebijakan yang menentukan dampak (outcome) dari kebijakan tersebut. Hasil suatu kebijakan dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan terjadi sebuah perbaikkan atau peningkatan kebijakan.


Hubungan Administrasi Negara dengan Politik dan Kebijakan Publik
Pengaruh politik terhadap administrasi negara selalu besar, tidak peduli kapan pun masanya. Hal ini disebabkan oleh adanya gejala di semua negara yang menunjukkan bahwa setiap pemerintah disusun di atas tiga cabang pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Hubungan terus menerus administrasi dengan politik mencerminkan keberlanjutan hubungan antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif, sebagaimana dicerminkan dalam dua tahap pemerintahan, yakni tahap politik dan tahap administrasi. Jika tahap pertama merupakan tahap perumusan kebijakan, maka tahap kedua merupakan tahap implementasi kebijakan yang telah ditetapkan dalam tahap pertama.
Hubungan antara administrasi negara dan ilmu politik telah berjalan lama, karena secara praktis tidak ada batas yang tegas antara politik dan administrasi. Orientasi politik dalam studi administrasi negara meletakkan administrasi negara sebagai satu elemen dalam proses pemerintahan. Administrasi negara dipandang sebagai satu aspek dari proses politik dan sebagai bagian dari sistem pemerintahan. Munculnya dikhotomi politik-administrasi sebenarnya merupakan gerakan koreksi terhadap buruknya karakter pemerintah. Dalam perkembangannya, orientasi politik dalam studi administrasi negara di kombinasikan dengan orientasi manajerial yang dikenal dengan orientasi politik-manajerial, dan orientasi sosio-psikologis yang dikenal dengan orientasi politik-sosio-psikologis.
Kebijakan Publik (Inggris:Public Policy) adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.
Setiap sistem politik pada dasarnya memproduksi kebijakan publik. Dan sistem politik itu bisa berupa negara, propinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan RT dan RW. "Institusi" seperti ASEN, EU, PBB dan WTO adalah sistem politik juga, yang dapat disebut supra-negara.
Kebijakan publik tidak selalu dilakukan oleh birokrasi (saja), melainkan dapat pula dilaksanakan oleh perusahaan swasta, LSM ataupun masyarakat langsung. Misalnya, suatu sistem politik dapat memutuskan untuk memberantas nyamuk. Sistem politik itu dapat memerintah --tentu saja disertai kompensasi-- sebuah perusahaan swasta untuk melakukan penyemprotan nyamuk.
Dalam masyarakat autoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik. Kemampuan para pemimpin politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya.