Jumat, 19 Februari 2010

ADMINISTRASI PUBLIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Secara etimologis, administrasi publik (Public Administratiion) berasal dari dua kata, yakni Administrasi dan Publik. Administrasi, dalam arti luas, dapat didefiniskan sebagai kerjasama dua orang atau lebih yang berdasar pada rasionalitas yang tinggi untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, yang dilakukan dalam suatu wadah organisasi. Sedangkan, secara sempit Administrasi dapat diartikan kegiatan catat-mencatat atau ketatausahaan (clarrical work).
Sementara itu, Publik merupakan sekelompok orang/ masyarakat yang memiliki interst yang sama.

Administrasi Negara (publick administration) pada dewasa ini telah diberikan arti yang lebih dari sekedar pengertian tradisional. Dewasa ini tidaklah mudah mendefiniskan “administrasi publiik”. Ada tiga alasan pokok. Pertama, karena begitu banyak definisi Administrasi Publik. Bahkan The Liang Gie (1981), berhasil menginventarisir 45 definisi administrasi publik. Kerumitan semakin bertambah karena istilah ini berasal dari bahasa inggris, yaitu public administration, di mana tidak ada kesepakatan atau ketunggalan dalam penerjemahan ke bahasa Indonesia. Kamus Inggris-Indonesia yang paling banyak digunakan di Indonesia karya John M. Enchols dan Hasan Shadily, bahkan menerjemahkan “public administration” sebagai “ilmu ketataprajaan, ilmu usaha negara, administrasi pemerintahan atau negara”.
Kedua, kalaupun public administration “hanya” dianggap sebagai “ilmu usaha negara”, maka urusan “negara” di hari ini berkembang dibanding “negara di masa lalu”. Negara bahkan membentuk berbagai organisasi yang tidak diurus dengan “cara negara” saja. Hal ini ditunjukkan dalam bentuk adanya Badan-Badan Usaha Milik Negara (baik yang dikelola negara maupun bukan oleh negara, lembaga-lembaga kemitraan antara negara dan sektor masyarakat yang berupa quast government organization.
Outpur dari administrasi negara bukan saja seuatu yang mengatur kehidupan bersama warganya, namun untuk membangun kemampuan organisasi di dalam lingkup nasional untuk menjadi organisasi-organisasi yang mampu bersaing dengan kapasitas global.
Ketiga, administrasi negara semakin menemui kenyataan akan kompleksitas sebagai akibat keluasan dan kerumitan di dalam misinya dengan munculnya konsep Good Governance. Istilah ini diindonesiakan oleh Lembaga Administrasi Negara sebagai “Kepemerintahan yang Baik” (LAN, 2000). Kepemerintahan yang baik menjadi isu terdepan dalam penyelenggaraan kehidupan negara. Masyarakat semakin menuntut pemerintah untuk menyelenggarakan kepemerintahan yang baik sejalan dengan semakin tingginya tingkat pengetahuan dan kompetensi masyarakat.

Nicholas Henry telah menyatakan bahwa “For the letter part of the twentieth century, the public bureaucracy has been the locus of the public policy formulation and the major of where this country is going .” Nigro dan Nigro mendefinisikan pengertian administrasi negara secara tegas sekali menetapkan bahwa “Public Administration ... has an important role in the formulation of public policy and is thus part of the political process ”.

KEPEMERINTAHAN YANG BAIK
Administrasi publik dalam konteks kepemerintahan yang baik ini kemudian menyangkut negara dan seluruh aktor atau lembaga-lembaga yang terkait di dalam sistem politik di dalamnya.

BIROKRASI
Menurut Pfifner dan Pesthus (1950), administrasi publik adalah kegiatan yang berkenaan dengan implementasi kebijakan publik yang telah dibuat sebelumnya oleh lembaga-lembaga perwakilan politik. Jadi, administrasi publik dapat didefinisikan sebagai koordinasi dari upaya individu dan kelompok untuk menjalankan kebijakan publik yang berarti menyangkut kegiatan sehari-hari dari sebuah pemerintah (government).

Gordon (1986) mendefiniskan administrasi publik adalah segala proses, organisasu, dan individu yang berkenaan dengan implementasi peraturan yang dibuat atau diterima oleh legislatif, eksekutif, dan yudikatif atau kehakiman.
Administrasi publik, seperti yang dirumuskan oleh Pfiffner dan Presthus (1967), adalah sebuah disiplin ilmu yang terutama mengkaji cara-cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai politik. Hal tersebut sejalan dengan gagasan awal Woodrow Wilson (1887) yang dianggap sebagai orang yang membidani lahirnya ilmu administrasi publik modern di Amerika Serikat. Ia mengemukakan bahwa disiplin administrasi publik merupakan produk perkembangan ilmu politik, namun Wilson mengusulkan adanya pemisahan disiplin administrasi dari ilmu politik. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai dikotomi politik-administrasi. Ilmu administrasi publik, menurut Wilson, berkaitan dengan dua hal utama, yaitu:
1. What government can properly and successfully do?
2. How it can do these proper things with the utmost possible efficiency and at the least possible cost either of money or of energy?
Bertolak dari gagasan dasar tersebut, dapat diyakini bahwa administrasi publik dapat berperan positif dalam mengawal proses demokratisasi sampai pada tujuan yang dicita-citakan, karena pada dasarnya administrasi publik berurusan dengan persoalan bagaimana menentukan to do the right things dan to do the things right. Dengan kata yang berbeda, administrasi publik bukan saja berususan dengan cara-cara yang efisien untuk melakukan proses demokratisasi, melainkan juga mempunyai kemampuan dalam menentukan tujuan proses demokratisasi itu sendiri, terutama dalam bentuk penyelenggaraan pelayanan publik secara efektif sebagai wujud dari penjaminan hak-hak konstitusional seluruh warga negara.

Persoalannya sekarang adalah, mungkinkah para administrator publik dapat menjadi tulang punggung bagi proses demokratisasi? Jawaban empirik terhadap pertanyaan tersebut mempunyai dua versi. Dalam satu situasi, peran para administrator publik dalam menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan demokratisasi cukup signifikan. Di Taiwan, misalnya, seperti juga di beberapa negara sedang berkembang lain, pemerintah berurusan dengan masalah dilematis bagaimana merekonsiliasi pertentangan antara budaya tradisional, kultur demokrasi baru dan industrialisasi sebagai usaha negara membangun ekonomi. Untuk menghadapi persoalan tersebut, para ahli administrasi publik membantu para pengambil keputusan di Taiwan untuk menyelesaikan reformasi administratif yang kompleks dengan menggunakan pendekatan perencanaan strategis (Sun dan Gargan, 1996).

Mengenai peran administrasi publik tersebut, O’Toole (1997) membuat kesimpulan bahwa administrasi publik yang berkembang saat ini sangat mendukung proses demokratisasi, karena sudah tidak terlalu hirarkis dan parokial, tetapi lebih mirip sebuah jaringan (network). Kecenderungan ini mempunyai implikasi yang sangat penting dan positif terhadap perkembangan demokrasi, termasuk tanggungjawab yang berubah terhadap kepentingan publik; terhadap pemenuhan prefrensi publik, dan terhadap perluasan liberalisasi politik, kewargaan, dan tingkat kepercayaan publik. Administrasi publik yang berbentuk jaringan dapat mengatasi hambatan menuju pengelolaan yang demokratik, dan dapat membuka kemungkinan untuk memperkuat pemerintahan yang bergantung kepada nilai-nilai dan tindakan-tindakan administrasi publik. Hal tersebut dikemukakan O’Toole dalam rangka mengenang Dwight Waldo yang juga pernah mengemukakan, bahwa jika administrasi adalah inti dari pemerintahan, maka teori demokrasi harus pula mencakup administrasi.

Dalam situasi lain, administrator publik tidak dapat diharapkan menjadi katalisator proses demokratisasi. Di negara-negara Afrika sub-sahara, seperti juga di tempat lain, ketika rezim militer menguasai pemerintahan, mereka memerintah dengan komando; melarang partai-partai politik, membekukan konstitusi, dan melumpuhkan lembaga-lembaga legislatif. Sebagai akibatnya, tidak ada saluran institusi politik bagi warganegara pada proses pengambilan keputusan. Penguasa militer biasanya memperoleh input bagi proses perumusan dan pengambilan keputusan dengan cara mengangkat elit politik sipil. Hal tersebut dilakukan sebagai respons terhadap tuntutan transisi kepada pihak sipil dan sebagai teknik politik untuk melakukan proses sipilisasi rezim militer. Pengalaman empirik menunjukkan, bahwa keterlibatan sipil dalam rejim militer merupakan prediktor bahwa rezim tersebut akan mengikuti aturan-aturan militer dan bukan sebaliknya. Dalam konteks inilah administrasi publik tidak kondusif bagi proses kristalisasi demokrasi, tetapi malah sebaliknya, dapat menjadi katalisator bagi pelanggengan pemerintahan lama yang otoriter. Dalam banyak hal, reformasi politik yang bergulir sampai saat ini, sekali lagi tampak berada dalam jalur yang benar. Yang dibutuhkan adalah kesabaran untuk bertahan dan konsistensi untuk melakukan langkah-langkah sistematik yang diperlukan. Proses demokratisasi di Indonesia tidak hanya diuji melalui pemilihan presiden secara langsung, namun terutama ditantang untuk mampu keluar dari berbagai masalah agar dapat memenangkan pertarungan dengan bangsa-bangsa lain.

Dari apa yang telah dikemukakan di atas, administrasi publik dapat menempati tempat di jantung gerakan demokratisasi politik, asal memenuhi paling tidak tiga persyaratan. Pertama, mampu melakukan perencanaan strategis yang menyeluruh seperti yang dilakukan di Taiwan seperti yang dikemukakan Sun dan Gargan. Kedua, mempunyai struktur organisasi yang tidak terlalu hirarkis dan parokial seperti yang dikemukakan O’Toole. Ketiga, membebaskan diri dari pendekatan dan kultur militeristik dalam melakukan pelayanan publik. Mengenai perencanaan strategis, Indonesia mempunyai pengalaman dan institusi perencanaan seperti Bappenas di tingkat pusat, dan Bappeda di tingkat daerah. Yang diperlukan adalah revitalisasi dan reposisi fungsi-fungsi institusional yang disesuaikan dengan konteks demokrasi yang dikehendaki. Mekanisme perencanaan bottom-up dapat terus dijalankan bukan sekedar basa-basi atau mencari legitimasi. Untuk dua syarat yang terakhir, struktur dan kultur birokrasi, masih membutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk melakukan perubahan secara inkremental untuk mengurangi (jika tidak dapat menghindari) biaya sosial, politik, dan ekonomi yang tinggi. Dalam kaitan dengan ini, pembicaraan mengenai isu reformasi administrasi publik tetap memiliki relevansi. Pertanyaan berikutnya adalah reformasi ke arah mana?

Uraian di atas paling tidak merupakan sebuah isyarat ke arah mana reformasi administrasi publik harus menuju. Salah satu gerakan reformasi administrasi publik yang juga sempat populer di awal 90-an muncul dalam kemasan ‘reinventing government’ yang berakar pada tradisi dan perspektif New Public Management yang merupakan kristalisasi dari praktek administrasi publik di Amerika Serikat. Para pendukung gerakan ini berpendapat, bahwa institusi-institusi administratif yang didirikan dalam kerangka birokrasi dengan model komando dan pengawasan telah berubah secara signifikan selama abad ke 20, dan harus terus diubah. Birokrasi jenis ini tidak lagi efektif, efisien dan sudah ketinggalan zaman dalam tatanan ekonomi-politik dunia yang semakin mengglobal. Oleh karena itu birokrasi di Amerika Serikat harus melakukan reformasi institusi administrasi publik agar lebih memiliki karakter kewirausahaan. Apakah reformasi administrasi publik seperti ini layak menjadi model bagi reformasi administrasi publik di tanah air?
Tampaknya perlu disimak lebih cermat hasil-hasil penelitian di balik hingar-bingarnya konsep reinventing government. Wolf (1997), dengan menggunakan meta-analisis terhadap 170 studi kasus dari 104 biro federal, menyimpulkan bahwa jalan menuju efektivitas birokrasi dari biro-biro pemerintah federal tidaklah mengalami perubahan; tiada berkesudahan dan lebih bersifat politis daripada kisah reinventing government seperti yang umumnya dipercaya orang. Kritik terhadap pendekatan kewirausahaan administrasi publik juga ditunjukkan oleh Cope (1997) yang menyorotinya dari sudut responsivitas politik. Ia berpendapat, bahwa banyak konsep dan teknik yang berhubungan dengan reformasi birokrasi sekarang ini (baca: reinventing government) sarat dengan berbagai implikasi negatif terhadap responsivitas politik.

Ada empat kesimpulan yang dihasilkan penelitiannya.
1. Pertama, review terhadap unjuk kerja pegawai memang mampu memperkuat birokrasi dan para pejabat terpilih, namun ternyata cenderung memperlemah responsivitas politik para administrator publik tersebut.
2. Kedua, dengan mengadopsi pendekatan kewirausahaan terhadap sistem keuangan publik, memang ada peluang untuk meningkatkan jumlah pendapatan, namun hal tersebut cenderung mengurangi tingkat responsivitas politik.
3. Ketiga, penekanan terhadap pelayanan pelanggan tidak serta merta meningkatkan responsivitas politik, karena dalam prakteknya hal itu ternyata berarti hanya memperhatikan kepentingan individu-individu tertentu; padahal pelayanan kepada masyarakat seharusnya ditujukan untuk meningkatkan responsivitas kepada publik tanpa diskriminasi.
4. Keempat, kemitraan sektor publik dengan swasta yang ditawarkan oleh model reinventing government, dalam prakteknya ternyata menimbulkan masalah etik. Khusus mengenai masalah etik, Ghere (1997) menyimpulkan bahwa dalam gema ‘reinventing government’, ada indikasi bahwa etika administrasi publik terlupakan. Ia melakukan studi kasus tentang kemitraan antara ‘county government’ (setingkat kecamatan) dengan ‘local chamber of commerce’ (Kadin-daerah) dari dua perspektif, standar moral pribadi para pelaku dan etika kebijakan institusional. Studi kasus ini memperlihatkan adanya penyalahgunaan keuangan publik dalam kemitraan dua lembaga tersebut. Jika di tempat kelahirannya saja, model yang ditawarkan secara global tersebut sarat dengan masalah, haruskah kita latah menggunakan pendekatan yang sama tanpa kajian seksama?

Model alternatif reformasi administrasi publik yang mendukung proses kristalisasi demokrasi adalah model Korea Selatan seperti yang digambarkan oleh Jung (1996). Bagi masyarakat Korea Selatan, reformasi aparat atau para pejabat administratif bukanlah merupakan isu utama. Mereka lebih tertarik pada dua hal; proses demokratisasi politik dan teknik penyaluran langsung ‘public goods and services’ kepada rakyat. Dari praktek menunjukkan bahwa, baik proses demokratisasi politik maupun kualitas dan kuantitas pelayanan pemerintah, pada kenyataannya sangat tergantung pada sistem administrasi publik. Oleh karena itu, reformasi administratif yang dibuat Kim Young-Sam yang merupakan pemerintahan sipil pertama setelah 30 tahun rezim militer, mempunyai dampak yang sangat besar terhadap dua hal. Pertama, tumbuhnya ekonomi Korea Selatan. Kedua, meningkatnya menambah legitimasi negara di depan rakyat, meskipun pemerintahan Kim adalah regim sipil yang dibentuk melalui prosedur demokratik oleh politisi-politisi sipil. Dari kasus Korea, orang paling tidak dapat belajar tiga hal. Pertama, menempatkan reformasi administrasi publik dalam agenda politik merupakan langkah yang strategis. Kedua, proses demokratisasi selain menjadi tujuan, juga menjadi sarana bagi tujuan yang lebih utama, menyelenggarakan pelayanan publik. Ketiga, memperbaiki sikap aparat merupakan hal yang baik, namun lebih penting membangun sistem yang memungkinkan aparat bertindak baik. Keempat, legitimasi negara di depan rakyat tidak selalu harus ditegakkan dengan senjata. Orang sipil pun mampu memimpin dan mengurus negara. Model manakah yang tepat untuk Indonesia? Kiranya perlu dikaji lebih teliti, karena apa yang berhasil di tempat lain, belum pasti tepat untuk diadopsi. Sebaliknya, jika sudah ada orang yang pernah melakukannya, mengapa harus mulai dari awal just to reinvent the wheel?
Beberapa rekomendasi terinspirasi oleh prinsip-prinsip revitalisasi konsep publik yang, disertai dengan usaha untuk melebarkan pandangan melalui komparasi dengan pengalaman bangsa lain, serta dengan melakukan kontemplasi teoritik, penulis mencoba mengajukan beberapa rekomendasi yang mungkin berguna untuk melakukan reformasi administrasi publik di Indonesia, yang tidak hanya diarahkan untuk mendukung proses demokratisasi, namun juga dalam rangka memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat tanpa diskriminasi, baik secara politik, etnik, kelas sosial, agama, maupun kelompok budaya. Secara substansial reformasi administrasi publik harus diarahkan pada revitalisasi konsep publik, yang berlandas pada kepatuhan terhadap konstitusi, pemahaman tentang virtuous citizen, pemahaman tentang kepentingan publik, dan pemahaman tentang kebajikan dan kasih. Belajar dari Korea Selatan, secara formal reformasi administrasi publik harus diarahkan pertama-tama dan terutama pada pembangunan sistemik yang menyangkut perubahan struktur administrasi, pengembangan kultur baru, penetapan prosedur-prosedur kerja, dan bukan pada aparatnya.
Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa reformasi administrasi tidak perlu menyentuh pengembangan manusia yang harus bekerja di dalam sistem. Ini adalah tugas pendidikan administrasi publik.

Dalam hal ini berlaku prinsip, the first things first. Investasi waktu, uang dan energi untuk membangun sistem yang memungkinkan orang biasa dapat bekerja baik, selalu lebih baik dari pada melakukan investasi untuk mengembangkan orang-orang hebat untuk bekerja dalam sistem yang buruk. Mengenai pilihan ini, ada pengalaman menarik. Ketika seorang mahasiswa ditanya apakah dia akan korupsi jika nanti menjadi pejabat publik. Dia menjawab, ”... tidak janji, Pak.” Ketika ditanya lagi mengapa? Sambil berkelakar dia membalas, ”...kalaupun malaikat dari surga disuruh jadi pegawai negeri di Indonesia, dia pasti korupsi juga, apalagi saya. Kecuali jika ada yang mampu mengubah keadaan di bumi Indonesia seperti di dalam surga...” Sebuah kelakar yang sungguh tidak lucu, namun memberi inspirasi dari mana reformasi administrasi publik harus dimulai, jika tidak ingin menempatkan anak-anak muda yang penuh idealisme dan kesungguhan bekerja, dalam lingkungan yang menjadikan mereka apatis.

Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi pada masyarakat modern benar-benar dipandang memprihatinkan, sehingga digambarkan adanya ramalan mengenai makin menggejalanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang paling rasionalpun, tidak bisa lagi dianggap sebagai kabar menggembirakan, melainkan justru merupakan pertanda malapetaka dan bencana baru yang menakutkan (Blau dan Meyer, 2000: 3).
Siagian (1994), misalnya, mengakui adanya patologi birokrasi. Hal itu dicirikan oleh kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan, tindakan melanggar hukum, keperilakuan, dan adanya situasi internal. Demikian juga Kartasasmita (1995) menyebutkan, bahwa birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self serving), mempertahankan statusquo dan resisten terhadap perubahan, dan memusatkan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung lebih mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan menghambat kemajuan. Benarkah demikian ?

Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidakobyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian (Santoso, 1993; Thaba, 1996; Fatah, 1998), bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungann terjadinya birokrasi yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.
Untuk melihat lebih dalam mengenai birokrasi, kita terlebih dahulu harus mengerti mengenai struktur formal. Struktur formal ini sangat penting dipahami makna dari birokrasi itu sendiri.

Max Weber merincikan sepuluh ciri birokrasi ideal, yaitu :
1. Para anggotanya (staf) secara pribadi bebas, dan hanya melakukan tugas-tugas impersonal dari jabatan-jabatannya.
2. Terdapat hierarki jabatan yang jelas.
3. Fungsi-fungsi jabatan diperinci dengan jelas.
4. Para pejabat diangkat berdasarkan kontrak.
5. Mereka diseleksi atas dasar kualifikasi profesional yang secara ideal diperkuat dengan diploma yang diperoleh melalui ujian.
6. Mereka digaji dengan uang dan biasanya mempunyai hak-hak pensiun.
7. Pekerjaan pejabat adalah pekerjaan yang satu-satunya dan yang
8. Terdapat suatu struktur karier dan kenaikan pangkat adalah yang mungkin baik melalui senioritas ataupun prestasi dan sesuai dengan penilaian para atasan.
9. Pejabat tidak boleh mengambil kedudukannya sebagai miliknya pribadi begitu pula sumber-sumber yang menyertai kedudukan itu.
10. Pejabat tunduk kepada pengendalian yang dipersatujan dan sistem disipliner.

Dalam memahami domain pemerintahan di dalam administrasi publik, ada dua hal yang menjadi acuan, yaitu :
1. isu yang dibahas adalah Kebijakan Publik.
2. aktor terpenting dalam kebijakan publik adalah pemerintah. Namun, pemerintah dalam hal ini identik dengan organisasi publik di dalam makna negara.
Menurut konsep demokrasi modern, kebijakan publik tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik (public opinion) juga nenpunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan (tercermin) dalam kebijakan-kebijakan negara. Setiap kebijakan negara harus selalu berorientasi pada kepentingan publik (public interest).

Kebijakan (policy) diberi arti yang bermacam-macam. Harold D. Lasswell dan Abraham Haplan memberi arti kebijakan sebagai a project program of goals, values and practices .
1. Carl J. Friedrick mendefinisikan kebijakan sebagai “ ... a porposed course of action of a person, a group, or government within a given environment providing obstacles and opportunities which the policy was proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal or realize an objective or a propose ”.
2. Amara Raksasataya mengemukakan kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, suatu kebijakan memuat tiga element, yaitu :
1). Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai
2). Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan
3). Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
3. Donald F. Kettl mengemukakan bahwa memasuki milenium ketiga, administrasi publik menghadapi empat isu kritikal. Pertama, struktur yang berkenaan dengan tantangan menguatnya swasta dan menyusutnya pemerintah. Kedua, berkenaan dengan proses administrasi publik, yaitu yang memperhadapkan kenyataan bahwa sumber defisit terbesar di setiap negara adalah proses penyelenggaraan administrasi publik. Ketiga, tentang nilai, yang antara lain berkenaan dengan munculnya ikon entrepeneurial government. Keempat, kapasitas, yaitu memanajeni urusan-urusan publik. Dan tambahan adalah kebijakan publik.
4. Kebijakan (Wilson, 1887) dapat diartikan sebagai seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik dan mempunyai pengaruh yang sangat luas. Dengan demikian, yang dimaksud dengan ilmu kebijakan adalah ilmu yang menjelaskan proses pembuatan kebijakan atau menyediakan data yang dibutuhkan dalam membuat keputusan yang rasional terkait dengan persoalan tertentu. Ilmu kebijakan (Lasswell, 1951) mencakup tiga hal, yaitu metode penelitian proses kebijakan, hasil dari studi kebijakan, dan hasil temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan intelegensi.
5. Pandangan ilmu kebijakan (Lasswell, 1970) mengandung ciri khas, yakni a) Berorientasi persoalan; b) Harus multidisipliner dan melibatkan sintesis dari berbagai ide dan teknik penelitian (multimetode); dan c) Harus menciptakan kreativitas dalam menganalisis persoalan. Selanjutnya Lasswell menyatakan bahwa ilmu kebijakan menggunakan dua pendekatan yang dapat didefinisikan dalam term pengetahuan dalam proses politik dan pengetahuan tentang proses politik, artinya a) Analisis kebijakan berkaitan dengan pengetahuan dalam, dan untuk, proses politik, dan; b) Analisis proses kebijakan berkaitan dengan pengetahuan tentang formasi dan implementasi kebijakan publik.

Sama halnya dengan adanya berbagai definisi policy, maka definisi dan konsep kebijakan publik pun beragam.
1. Kesederhana kebijakan seringkali diartikan sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh pemegang kewenangan untuk memastikan tujuan-tujuan yang sudah dirumuskan dan disepakati oeh publik bisa tercapai. Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil semestinya benar-benar mampu mewujudkan seluruh hasrat kepentingan dan tujuan-tujuan publik tersebut secara optimal.

A. KEBIJAKAN SEBAGAI SUATU KEPUTUSAN
a. Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai ”is whatever governments choose to do or not to do”. Artinya, bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya dan kebijakan negara itu harus meliputi semua tindakan pemerintah. Jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan negara. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai dampak yang sama besar dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah .
b. George C. Edwards III dan Ira Sharkansky mengatakan bahwa kebijakan negara itu dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah .
c. James E. Anderson mengemukakan : Public policies are those policies developed by governmental bodies and officials . Menurut Anderson, implikasi dari konsep kebijakan public tersebut adalah :
1. kebijakan negara itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan.
2. kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.
3. Kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu.
4. Kebijakan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif – dalam arti : merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
5. Kebijakan pemerintah – setidak-tidaknya dalam arti yang positif – didasarkan atau selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa.
Konsep kebijaksanaan publik menurut David Easton sebagai berikut :
Alokasi nilai yang otoritatif untuk seluruh masyarakat akan tetapi hanya pemerintahlah yang dapat berbuat secara otoritatif untuk seluruh masyarakat, dan semuanya yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan adalah hasil-hasil dari alokasi nilai-nilai tersebut .

B. KEBIJAKAN SEBAGAI PROSES MANAJEMEN
Pemaknaan konsep kebijakan publik sebagai proses manajemen didasarkan pada adanya serangkaian fase kerja dari pejabat-pejabat publik. Dimana adanya proses dalam pembentukan kebijakan atau serangkaian aturan dan tindakan dalam membuat suatu kebijakan baik itu dimulai dari agenda setting sampai pada proses reformulasi kebijakan atau implementasi, pelaksanaan dari kebijakan tersebut. Dalam hal ini makna kebijakan publik sebagai proses manajement antara lain :
a. Randall B. Ripley menganjurkan agar kebijakan publik dilihat sebagai suatu proses dan melihat proses tersebut dalam suatu model sederhana untuk dapat memahami konstelasi antar aktor dan interaksi yang terjadi di dalamnya .
b. William Jenkin mengungkapkan kebijakan public sebagai : A set of interrelated decision taken by a political actor or a group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where those decision should, in principle, be within the power of those actors to achieve(hal 16). Kebijakan publik adalah sebuah rangkaian yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi dimana keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan daripada aktor tersebut .
c. Carl Friedrich, bahwa kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu .
d. John Erik Lane (1995) dalam Lele (1999) membagi wacana kebijakan publik ke dalam beberapa model pendekatan, yaitu (1) pendekatan demografik yang melihat adanya pengaruh lingkungan terhadap proses kebijakan. (2) model inkremental yang melihat formulasi kebijakan sebagai kombinasi variabel internal dan eksternal dengan tekanan pada perubahan gradual dari kondisi status quo. (3) model rasional (4) model garbage can dan (5) model collective choice aksentuasinya lebih diberikan pada proses atau mekanisme perumusan kebijakan .

C. KEBIJAKAN SEBAGAI INTERVENSI PEMERINTAH
Pemaknaan konsep kebijakan publik sebagai intervensi pemerintah menitikberatkan pada peran aktor di luar pemerintah dalam memecahkan suatu masalah, dalam hal ini pemerintah mengikutsertakan berbagai instrument/sumber daya di luar Negara/pemerintah. Sehingga tidak hanya pemerintah sajalah yang menjadi actor tunggal dan utama dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi persoalan-persoalan publik. Berikut ini makna dari konsep kebijakan publik yang termasuk dalam sudut pandang kebijakan sebagai intervensi pemerintah, antara lain :
a. Carl friedrich mengungkapkan kebijakan publik sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu , yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu.
b. Chandler & Plano (1982) dalam kamus “wajib” Ilmu Administrasi Negara, The Public Administration Dictionary, mengatakan bahwa: “Public Policy is strategic use of reseorces to alleviate national problems or governmental concerns”. Secara sederhana dapat diartikan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah publik atau pemerintah. Chandler & Plano lalu membedakannya atas empat bentu, yakni: regulatory, redistributive, distributive, dan constituent.
c. Robert Eyestone mendefinisikan kebijakan publik sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud kebijakan publik dapat mencakup banyak hal.
d. Konsep lain mengenai kebijakan publik sebagai intervensi pemerintah juga dikemukakan oleh Chandler and Plano (1988). Menurut mereka, Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.
e. Chaizi Nasucha (2004), mengatakan bahwa kebijakan publik adalah kwenangan pemerintah dalam pembuatan suatu kebijakan yang digunakan ke dalam perangkat peraturan hukum. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menyerap dinamika sosial dalam masyarakat, yang akan dijadikan acuan perumusan kebijakan agar tercipta hubungan sosial yang harmonis.

D. KEBIJAKAN SEBAGAI DEMOCRATIC GOVERNANCE
Pemaknaan konsep kebijakan public sebagai democratic governance menitikberatkan pada masalah pembuatan keputusan atau kebijakan dimana pemerintah/negara berinteraksi dengan masyarakat. Sehingga terjalin suatu relasi antara pemerintah dan masyarakat tersebut dalam mengatasi persoalan publik. Berikut ini definisi-definisi tentang konsep kebijakan public sebagai suatu democratic governance, antara lain :
Chief J. O Udoji (1981) :
1. Kebijakan publik sebagai suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.
2. Kebijakan Publik juga merupakan suatu tindakan atau pilihan yang dilakukan baik oleh lembaga pemerintahan maupun badan-badan lainnya untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.
Fauzi Ismail, dkk dalam bukunya menyatakan bahwa kebijakan publik adalah bentuk menyatu dari ruh negara, dan kebijakan publik adalah bentuk konkret dari proses persentuhan negara dengan rakyatnya. Kebijakan publik yang transparan dan partisipatif akan menghasilkan pemerintahan yang baik. Paradigma kebijakan publik yang kaku dan tidak responsif akan menghasilkan wajah negara yang kaku dan tidak responsif. Demikian pula sebaliknya, paradigma kebijakan publik yang luwes dan responsif akan menghasilkan wajah negara yang luwes dan responsif pula .

Contoh Kebijakan Publik
Contoh dari kebijakan publik yang melakukan sesuatu yaitu kebijakan menaikan harga BBM, kebijakan BLT, kebijakan tentang sunset policy dalam hal perpajakan, dan lain-lain. Sedangkan contoh kebijakan untuk tidak melakukan sesuatu yakni berdiam diri saat kapal perang malaysia masuk perairan kita, atau tidak ambil pusing atas kasus manohara pinot dan lain sebagainya.

Contoh Quasi Publik
Contoh-contoh Quasi Publik antara lain air bersih dari PDAM, jaringan telekomunikasi dari PT. Telkom Indonesia, armada pesawat komersil dari PT. Garuda Indonesia (Persero), dan lain-lain.

1 komentar:

  1. saya masih bingung perbedaan definisi yang lebih nyata antara kebjakan publik dengan administrasi publik, lalu kaitannya dengan manajemen?mohon dibantu untuk menjelaskan

    BalasHapus